| 14 Views
Krisis Rumah Layak Huni di Era Kapitalisme

Oleh : Santi Villoresi
Indonesia merupakan negara yang masuk kategori tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem. Pernyataan ini di katakan oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman sebanyak 26,9 juta rumah di Indonesia
Upaya pemerintah untuk menyelesaikan permasalah itu, dengan menargetkan dalam 1 tahun bisa membangun 3 juta rumah melalui program bedah rumah dengan menggandeng berbagai pihak termasuk swasta.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Tata Kelola dan Pengendalian Risiko Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Azis Andriansyah saat peresmian rumah sederhana layak huni yang digagas PT Djarum di Pendopo Kudus, Jawa Tengah, Kamis (24/4/2025).
Menurutnya target 3 juta rumah akan digarap melalui program bedah rumah secara gotong royong antara pemerintah dengan pihak swasta serta program CSR.
Iya juga mengatakan di Jawa Tengah setidaknya ada sekitar 1 juta rumah tidak layak huni. Menurutnya perlu upaya gotong royong untuk menekan angka rumah tidak layak huni.
PT Djarum menargetkan bisa merenovasi 300 rumah tidak layak huni menjadi layak huni di Kudus pada 2025. Sehingga total rumah yang direnovasi sejak 2022 hingga akhir tahun nanti bisa mencapai 515 rumah.
Gayung bersambut Wakil Menteri Sosial (Wamensos), Agus Jabo Priyono menegaskan pentingnya sinergi lintas kementerian dalam upaya mengentaskan kemiskinan ekstrem. Salah satunya melalui program perumahan yang tepat sasaran.
Sudah beberapa tahun terakhir Kemensos telah memiliki program Rumah Layak Huni,dan revitalisasi rumah kawasan miskin.
Salah satu contoh model lain yang sedang dikerjakan, yakni pembangunan Kampung Nelayan Sejahtera di Indramayu. Di lokasi tersebut, Kemensos bersama Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Baznas serta instansi terkait menyediakan lahan serta membiayai pembangunan rumah bagi warga yang kerap terdampak banjir rob.
Dan pentingnya kerja sama dengan KemenPKP dalam pembangunan rumah tidak layak huni dan rumah bagi nelayan dan peran Kemensos dalam pembangunan perumahan sebagai pendukung.
Sayang nya pemerintah menganggap problematika rumah layak huni ini masih sebatas pada klaim bahwa penyebabnya adalah kemiskinan ekstrem, pemerintah tidak pernah mengungkap latar belakang terjadinya kemiskinan ekstrem itu sendiri. Pada saat yang sama, pemerintah bahkan menelurkan berbagai kebijakan yang makin kapitalistik serta berpotensi melahirkan kemiskinan struktural dan sistemis.
Misalnya saja, pemerintah gagal mengendalikan inflasi sehingga daya beli masyarakat makin menurun. Berbagai produk impor justru berupa bahan pangan dan kebutuhan pokok yang membanjiri pasar dalam negeri.
Juga angka PHK dan pengangguran yang tidak kunjung turun, dan sebaliknya makin buruk. Negeri ini tengah mengalami bonus demografi, tetapi pengangguran terbesar datang dari kalangan Gen Z. Demi kesejahteraan keluarga, sebagian dari masyarakat pun lebih memilih bekerja ke luar negeri, baik itu melalui fenomena brain drain maupun pekerja migran. Tidak sedikit pula WNI yang lebih memilih pindah kewarganegaraan ke negeri jiran, seperti Singapura. Ini masih belum bicara kerusakan generasi, baik akibat tindak asusila, kasus narkoba dan miras, serta kriminalitas lainnya.
Itu semua hanya secuil ketimpangan hidup yang ada Indonesia. Namun, itu sudah menjadi bukti nyata bahwa penyebabnya adalah keberpihakan pemerintah yang lebih condong pada para konglomerat dan kapitalis
Garis kemiskinan di Indonesia pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242/kapita/bulan. Pada periode yang sama, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, garis kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar Rp2.803.590/rumah tangga miskin/bulan. Faktanya, masih banyak individu rakyat yang gajinya di bawah garis kemiskinan.
Selain itu, kemiskinan terkait erat dengan rendahnya angka kepemilikan rumah, serta diperparah oleh ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi. Di tengah tingginya angka backlog perumahan, program tiga juta rumah mungkin tampak seperti angin segar. Namun, pemangkasan anggaran membuat realisasinya berpotensi menemui kendala.
Dalam dunia properti, backlog merupakan kondisi kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk angka rumah yang tidak layak huni. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa target program satu juta rumah baru bisa diwujudkan pada tahun keempat pemerintahan sebelumnya. Wajar jika sebagian publik saat ini meragukan program tiga juta rumah yang dinilai lebih ambisius.
Merujuk jumlah kebutuhan rumah sendiri itu, program tiga juta rumah memang tampak mudah dan singkat untuk bisa di wujudkan . Namun, dengan kehidupan dalam naungan sistem kapitalisme, program tiga juta rumah itu mustahil terealisasi tanpa ada motif ekonomi. Dalam proses penyediaan bangunan rumah, pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri, apalagi pemerintah sudah menyatakan akan menggandeng swasta. Belum lagi persoalan birokrasi, administrasi, serta mekanisme liberal dalam pengelolaan sektor perumahan, sering kali menjadi celah untuk membuat proses kepemilikan menjadi rumit bagi wong cilik.
Jika demikian, apa yang lantas bisa kita harapkan dari program rumah layak huni itu? Benarkah itu wujud pengaturan tulus yang dilakukan pemerintah untuk rakyat?
Pada akhir Januari 2025, sejumlah pengusaha besar Tanah Air masih menguasai berbagai sektor bisnis yang ada di Indonesia. Mulai dari energi, tambang, perbankan, hingga ritel dan media. Jika didetaili profilnya, mereka adalah para korporat besar yang lekat dengan sebutan para taipan sembilan naga.
Mereka meraup banyak keuntungan dari bisnis tersebut dan berhasil menduduki peringkat tertinggi dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Bahkan gabungan harta 50 orang terkaya di Indonesia bisa membayar seluruh gaji pekerja di negeri ini selama satu tahun. Dari sisi nilai, kekayaan 50 orang terkaya itu setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat pada umumnya.
Selain kekayaan, mereka juga mendapatkan keuntungan dari kebijakan, investasi, dan peluang yang tidak tersedia bagi masyarakat kelas bawah. Kekayaan yang dimiliki sekelompok kecil orang kaya itu membuat mereka sekaligus memiliki akses dan privilese lebih besar sehingga mampu memperkaya diri jutaan kali lebih banyak. Sebaliknya, warga yang miskin justru makin miskin, padahal mereka hidup di negeri yang sama dengan para orang kaya itu.
Semua ini menegaskan bahwa gurita korporasi begitu kuat di negeri ini. Dengan kata lain, negeri ini nyata-nyata dikendalikan oleh para korporat, tidak terkecuali di sektor bisnis hunian/perumahan. Pembangun dan penyedia hunian di Indonesia nyatanya bukan pebisnis biasa, melainkan para korporat pengembang (developer).
Mereka memperoleh karpet merah dari penguasa untuk menggarap lahan basah bisnis properti nasional. Salah satu contoh nyatanya adalah pembangunan IKN dan PIK 2. Yang terbaru, program tiga juta rumah dari pemerintah juga melibatkan mereka. Demikian halnya berbagai kasus penggusuran kawasan permukiman padat masyarakat miskin, sering kali penggusuran itu dilakukan demi alih fungsi dan ketersediaan lahan bagi target bisnis properti korporasi tadi.
Lezatnya bisnis properti dalam sistem kapitalisme telah jauh menggeser fungsi rumah sebagai bagian dari kebutuhan primer seorang individu menjadi komoditas komersial. Sayang, penguasa dalam sistem kapitalisme bukannya memperjuangkan nasib rakyat agar mereka bisa memiliki hunian layak, tetapi malah lebih memilih untuk membela pengusaha besar.
Pada titik ini, penguasa telah nyata-nyata berlepas tangan dari tanggung jawabnya untuk menjamin distribusi kebutuhan primer rakyatnya dari sisi kepemilikan rumah. Ini sungguh menyalahi sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Juga firman Allah Taala dalam ayat, “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal…” (QS An-Nahl [16]: 80).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “Allah mengingatkan akan kesempurnaan nikmat yang Dia curahkan atas para hamba-Nya, berupa rumah tempat tinggal yang berfungsi untuk memberikan ketenangan bagi mereka. Mereka bisa berteduh (dari panas dan hujan) dan berlindung (dari segala macam bahaya) di dalamnya. Juga bisa mendapatkan sekian banyak manfaat lainnya.”
Menilik sistem Islam, sejatinya semua orang yang tinggal di dalam wilayah negara bersistem Islam (Khilafah) adalah warga negara yang dijamin hak kesejahteraannya secara individu per individu. Dengan adanya jaminan dan penerapan distribusi rumah oleh Khilafah, kepemilikan rumah layak huni bagi individu bukanlah sesuatu yang mustahil, baik itu melalui hasil usaha individu tersebut maupun berupa pemberian negara.
Dari sisi proses pembangunan, Khilafah mengatur interval pembangunan perumahan dengan tidak sekadar fokus menggenjot produksi rumah secara besar-besaran, melainkan menyediakan sesuai kebutuhan serta tetap memperhatikan keseimbangan antara visi pembangunan dengan aspek ekologi dan konversi lahan.
Selain itu, tata kelola perumahan oleh Khilafah tidak menggunakan prinsip liberalisasi lahan. Khilafah tidak akan membiarkan seorang pun—seperti pengembang properti kapitalis—leluasa merampas dan menggusur tanah milik warga berdasarkan kekuatan uang dan undang-undang neoliberal sebagaimana dalam kapitalisme. Di sisi lain, jika ada seorang pemilik tanah yang tidak mengelola tanahnya selama tiga tahun, Khilafah berhak mengambil tanah tersebut untuk diberikan kepada warga lain yang mampu mengelolanya.
Khilafah akan menerapkan mekanisme tertentu agar setiap warga merasa cukup ketika kebutuhannya akan rumah layak huni sudah terpenuhi. Pada saat yang sama, Khilafah berupaya menutup berbagai celah keserakahan orang-orang kaya yang hendak mengeksploitasi bisnis dan kepemilikan rumah. Khilafah justru menyuburkan motivasi di kalangan orang-orang kaya tersebut untuk tidak abai membelanjakan hartanya di jalan Allah, baik dalam bentuk sedekah, zakat, maupun wakaf kepada sesama muslim.
Wallahualam bissawab.