| 23 Views
Kota Sains Kreatif, Tapi Arah Masih Kapitalis

Oleh: Puspa Ratnaningsih
Bogor
Wali Kota Bogor baru-baru ini menemui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, membawa misi besar: memantapkan Bogor sebagai Kota Sains Kreatif. Gagasannya menarik seperti, mengedepankan sektor kuliner, kriya, dan fesyen sebagai penopang ekonomi baru. Sejak 2024, Bogor tak lagi bertumpu pada sektor jasa, melainkan melirik potensi kreatif yang bisa mendatangkan keuntungan lebih besar. Namun, jika ditelaah lebih dalam, arah pembangunan ini tetap tak lepas dari napas kapitalisme. Tujuannya masih soal cuan.
Alih-alih mengoptimalkan kekayaan agraris yang sudah jelas diwariskan secara geografis, seperti tanah subur, curah hujan tinggi, dan keberadaan pusat riset pertanian seperti IPB dan balai-balai penelitian, fokus malah diarahkan ke sektor dengan nilai jual tinggi di pasar global. Inilah logika kapitalisme: potensi wilayah bukan dilihat sebagai amanah, tapi komoditas. Cacat sistem ini bukan hanya terlihat dari pilihan arah pembangunan yang serampangan, tapi juga dari cara berpikir penguasa yang tak berpijak pada kebutuhan rakyat, melainkan pada permintaan pasar. Ketika tanah subur tak dimanfaatkan untuk ketahanan pangan nasional, tapi justru untuk memfasilitasi pasar gaya hidup, maka jelas siapa yang diuntungkan: pemilik modal, bukan rakyat.
Islam menawarkan solusi fundamental. Dalam Daulah Islam, wilayah diatur berdasarkan thabi’ah al-ardh (karakter asli tanah). Jika sebuah daerah cocok untuk pertanian, maka negara wajib menjadikannya wilayah agraris. Sebaliknya, jika cocok untuk industri atau pertahanan, maka perencanaan dibangun ke arah itu. Inilah politik pembangunan yang berbasis potensi riil, bukan kepentingan kapital. Contohnya, pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, wilayah Sawad di Irak dijadikan lumbung pangan utama karena kesuburan tanahnya. Negara membangun irigasi, memperkuat infrastruktur pertanian, dan hasilnya bukan hanya swasembada, tapi juga ekspor pangan. Negara bertindak bukan untuk segelintir elit, tapi untuk seluruh umat.
Jika Bogor ingin benar-benar jadi kota yang maju dan berkelanjutan, maka pembangunan tak bisa sekadar kreatif, tapi juga harus adil, visioner, dan bebas dari belenggu kapitalisme. Dan itu hanya bisa terwujud jika sistem yang digunakan bukan kapitalis, melainkan Islam yang kaffah.