| 45 Views
Korupsi Tuntas Dengan Sistem Kapitalis, Mungkinkah?

Oleh : Asham Ummu Laila
Relawan Opini Lainea Konawe Selatan
Penerapan praktek tebang pilih di negeri ini, semakin tidak terkendali. Sebagaimana penanganan kasus korupsi yang tampak kurang serius. Dua kasus yang sama tetapi penanganannya berbeda.
Kasus pertama adalah Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, yang diduga sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi kegiatan impor gula periode 2015-2023 di kementrian perdagangan (kemendag). Ia diduga memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton ketika menjadi mentri perdagangan pada tahun 2015-2016. Akibat kebijakannya negara dirugikan Rp 400 milyar (tvOnenews.com, 31/10/2024).
Adapun kasus yang kedua adalah dugaan gratifikasi pada ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep terhadap kasus pemberian fasilitas jet pribadi. Namun Sekertaris Jendral (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto menduga putusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani dugaan kasus gratifikasi terhadap ketua umum partai solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang pangarep sarat intervensi. Sebagaimana hal tersebut disampaikan Hasto saat menangani pernyataan KPK yang menyatakan pemberian fasilitas kepada putra bungsu Presiden ke -7 itu bukanlah gratifikasi (Kompas.com, 3/11/2024).
Perbedaan perlakuan terhadap kasus Tom lembong dan Kaesang menunjukkan bahwa telah terjadi sikap tebang pilih pada pengusutan kasus korupsi. Sikap seperti ini juga tampak pada kasus-kasus korupsi yang penanganannya lamban bahkan ada pula yang tidak kunjung terselesaikan walaupun sudah terjadi bertahun-tahun. Misal seperti kasus dana BLBI, kasus KTP elektronik, kasus korupsi tima yang mengakibatkan kerugian negara hingga 271 triliyun atau kasus bank century yang mana semua kasus tersebut hingga kini belum ada pencerahannya.
Tentu hal itu menujukan bahwa konsep “perlakuan yang sama di depan hukum“ tidak terlaksana. Yang akhirnya berefek pada terhambatnya penanganan kasus korupsi, bahkan tidak tertangani dengan baik. Meski sudah ada kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan KPK, korupsi masih saja terjadi bahkan semakin marak. Berdasarkan indeks persepsi korupsi (IPK) 2023, Indonesia meraih skor 34 dari 100 atau peringkat 110 dari 180 negara dan skor ini lebih rendah dari rata-rata global yaitu 43 (BPHN.GO.ID, 16/03/2023)
Demikianlah gambaran kekuasaan dalam sistem sekuler kapitalis, cenderung akan terjadi korupsi akibat tidak adanya kontrol agama terhadap perilaku manusia saat menjadi penguasa. Dalam sistem ini agama tidak boleh hadir dan mengatur dalam sektor publik, agama hanya boleh termanifestasi dalam perkara akidah, ibadah, dan ahlak. Akhirnya penguasa seolah berwenang untuk berbuat semaunya demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya, termasuk peluang melakukan korupsi.
Hal ini sejalan dengan tata pemerintahan demokrasi yang menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Yang mana hukum yang dibuat dan diberlakukan sesuka hati manusia demi melanggengkan kekuasaan, salah satunya peluang melakukan korupsi. Hukum ditafsirkan sesuai kekinginan dan kemauan rezim yang berkuasa sehingga mereka aman dan tidak terjerat hukum. Sebaliknya mereka yang berseblahan dengan rezim akan dijegal dengan berbagai cara agar masuk jeratan hukum. Demikianlah, dalam sistem sekuler kapitalisme, kekuasaan tidak tunduk terhadap hukum. Korupsi tidak diberantas dengan tuntas, tetapi malah tebang pilih. Padahal jika ingin memberantas korupsi penegakan hukum harus dapat diwujudkan.
Berbeda dengan sistem Islam, korupsi merupakan perilaku yang diharamkan dan pelakunya berdosa. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, ”Siapa saja yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepada dia telah diberikan rezeki (gaji) maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (Ghulul).” (HR. Abu Dawud).
Dalam hadist lain juga dijelaskan “Barang siapa berlaku ghulul maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat.” (HR. Tirmizi). Mengenai gratifikasi menurut Islam termasuk harta ghulul (kecurangan). Sebagaimana Rasulullah bersabda, ”hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah shut (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.
Sistem Islam menuntaskan korupsi secara konkrit dengan menutup semua celah korupsi. Sistem Islam membentuk akidah Islam pada diri setiap rakyat melalui sistem pendidikan, dakwah para dai, halaqah para ulama dan pada aspek lain termaksud media masa dan media sosial. Maka akan terbentuk self kontrol pada diri individu dan umat untuk selalu taat pada syariat dan menghindari serta menjauhkan diri dari dosa, salah satunya tindakan korupsi.
Disamping itu dalam perekrutan pegawai dan pejabat negara disesuaikan dengan syariat Islam. Misalnya melakuakn seleksi pada saat pendaftaran tidak meberikan peluang bagi orang yang fasik (gemar berbuat dosa, termasuk pelaku korupsi) akan dilarang menjadi pegawai atau pejabat negara. Kemudian penguasa atau pemerintah juga akan rutin menghitug kekayaan para pejabat, jika ada penyimpangan atau pendapatan yang tidak wajar maka ia akan diminta mempertanggungjawabkan asal keberadaan harta tersebut. Jika tidak dapat dipertanggung jawabkan maka harta tersebut akan disita negara dan dimasukan atau disimpan di baitulmal.
Dalam sistem Islam hukum akan ditegakan dengan adil dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku korupsi, siapapun yang terbukti melakukan korupsi maka akan diberi sansksi sekalipun keluarga pejabat. Seperti yang telah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khaththab ra, yang mengetahui unta milik putranya gemuk karena dipelihara di tempat khusus. Kemudian khalifah Umar pun segera menyuruh agar unta tersebut segera dijual dan keuntungannya diserahkan ke baitulmal. Demikian ketegasan khalifah dalam mencegah korupsi.
Sanksi lain yang bisa dilakukan yaitu diumukan di media masa dan akan menjadi sanksi sosial dan menetapkan takzir bagi koruptor. Hukumnya berdasarkan ijtihad khalifah atau kadhi sebagai wakilnya dalam menangani tindakan pidana. Hukuman paling ringan bagi pelaku korupsi adalah penjara, pengasingan atau denda dan hukuman tertinggi atas tindakan korupsi adalah hukuman mati. Semua hukuman ini akan memberi efek jera pada pelaku karena akan disaksikan langsung oleh seluruh masyarakat umum dan akan menjadi penebus dosanya di akhirat. Semua ini bisa terwujud secara nyata dalam kehidupan hari ini apabila sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam sebuah institusi negara.
Wallahu’alam Bishawab.