| 23 Views

Korupsi EDC: Bukti Gagalnya Sistem Sekuler

Oleh: Rohimah Arsyifa
Dakwah Tamasari

Kasus dugaan korupsi senilai Rp 2,1 triliun dalam proyek pengadaan mesin EDC bukan sekadar persoalan "oknum nakal", tetapi mencerminkan kerusakan struktural dalam sistem kapitalisme sekuler yang saat ini mengatur Indonesia dan banyak negara lainnya. Beberapa akar permasalahan yang mencuat dari kasus ini antara lain.

Sistem ekonomi kapitalistik, sistem ekonomi yang memberi ruang dominan pada kepentingan korporasi dan profit mendorong berbagai pihak untuk mencari keuntungan dengan segala cara termasuk melalui suap, mark-up, atau kolusi dalam proyek-proyek pengadaan.

Dalam sistem sekuler, agama dijauhkan dari kehidupan publik, termasuk dalam urusan pemerintahan dan bisnis. Maka, nilai takwa dan takut kepada Allah tidak menjadi landasan perilaku pejabat maupun pelaksana proyek.

Meski ada lembaga seperti KPK, pengawasan dalam sistem demokrasi sering kali bersifat reaktif, tidak sistemik, dan bahkan bisa dipolitisasi. Penegakan hukum pun tak jarang tebang pilih.

Bank pelat merah dalam sistem saat ini dijalankan seperti korporasi yang mengejar laba, bukan sebagai institusi pelayanan publik dalam arti sebenarnya. Ini membuka ruang luas bagi penyimpangan dalam pengadaan atau proyek kerja sama.

Dalam Islam, persoalan seperti ini ditangani secara sistemik bukan hanya melalui individu atau penegakan hukum semata, tapi dengan membangun seluruh sistem pemerintahan dan ekonomi berdasarkan syariat Islam. Berikut bagaimana Khilafah Islamiyah menangani dan mencegah kasus semacam ini.

Pertama, sistem pemerintahan yang tunduk pada syariat bukan kepentingan elit. Dalam Khilafah, negara wajib mengelola urusan rakyat sebagai amanah, bukan sebagai peluang mencari keuntungan. Khalifah sebagai pemimpin tertinggi adalah pelaksana hukum Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat dan di akhirat.

Kedua, pengadaan barang berdasarkan kemaslahatan umat, bukan kepentingan bisnis. Proyek seperti pengadaan mesin EDC akan dikaji berdasarkan kebutuhan riil dan urgensi syar’i, bukan atas dasar profit atau komisi. Mekanisme pengadaan dilakukan secara transparan dengan pengawasan langsung dari Qadhi Hisbah (hakim pengawas pasar dan administrasi).

Ketiga, sistem pengawasan ketat lembaga hisbah & muhtasib. Negara Khilafah memiliki Hisbah, lembaga pengawas publik yang independen dan mengawasi kejujuran dalam transaksi, distribusi, dan proyek publik. Hisbah memiliki kewenangan langsung menghentikan penyimpangan tanpa birokrasi berbelit.

Keempat, hukuman tegas tanpa intervensi politik. lslam menetapkan hukuman tegas bagi pelaku korupsi, termasuk potong tangan untuk pencurian besar yang memenuhi syarat hudud. Namun di luar itu, ada juga takzir (hukuman diskresi negara) seperti pemenjaraan, denda, atau pengusiran dari jabatan.

Kelima, pendidikan akidah dan takwa sejak dini. Dalam sistem Islam, seluruh masyarakat dibina agar memiliki kesadaran bahwa semua amal akan dihisab di akhirat, sehingga tidak hanya takut pada KPK, tapi lebih takut kepada Allah جل جلاله . Ini menciptakan pengawas internal (muraqabah) dalam diri tiap individu.

Selama sistem kapitalisme dan demokrasi sekuler tetap menjadi dasar negara, kasus korupsi seperti ini akan terus berulang, meski pelakunya berbeda-beda. Solusi tambal-sulam seperti rotasi pejabat, audit berkala, atau pengawasan digital hanya menyentuh permukaan masalah.

Sudah saatnya umat Islam melihat Islam sebagai sistem hidup yang utuh, termasuk dalam pengelolaan negara dan ekonomi. Khilafah Islamiyah bukan utopia, tetapi warisan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para Khulafaur Rasyidin yang terbukti menjamin keadilan, mencegah korupsi, dan memakmurkan 
umat selama berabad-abad.

“Sesungguhnya manusia terbaik yang kamu angkat sebagai pemimpin adalah orang yang kuat dan  amanah.” (QS. Al-Qashash: 26


Share this article via

5 Shares

0 Comment