| 30 Views
Kohabitasi Rusaknya Pergaulan di Tengah Umat

Oleh: Khantynetta
Adanya viral yang mengejutkan masyarakat berita mengenai pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap seorang perempuan muda oleh pacarnya. Kasus mengerikan ini mengguncang warga Surabaya dan Mojokerto, di mana seorang pemuda berinisial AM (24) melakukan tindakan brutal terhadap pacarnya yang telah "hidup bersama", TAS (25). AM memotong jasad korban menjadi ratusan bagian. Beberapa potongan tubuh ada yang dibuang di Mojokerto, sedangkan sisanya disimpan di tempat tinggal korban di Surabaya. Astaghfirullaah.
Kasus mutilasi berlatar belakang pacaran dan kohabitasi bukan baru kali ini terjadi. kasus serupa juga pernah terjadi pada 19 Januari 2025 di Kediri. Pelaku Rochmat Tri Hartanto membunuh dan memutilasi pacarnya di sebuah hotel. Pada April 2025 terjadi kasus mutilasi di Serang, Banten. Pelaku ML (23) membunuh dan memutilasi pacarnya sendiri, SA (19) karena korban hamil dan menuntut pertanggungjawaban.
Kohabitasi dianggap sebagai hal yang normal saja bagi generasi muda hari ini. Mereka tak lagi peduli dengan norma dan aturan agama yang dianutnya. Tak ada rasa malu atau takut melanggar hukum. Bahkan, mereka tak berhitung risiko saat memilih kohabitasi.
kasus mutilasi berlatar belakang kohabitasi bukan semata-mata kasus pembunuhan. Namun, aspek kohabitasi menjadi faktor penting yang mendorong terjadinya pembunuhan dan mutilasi. Oleh karenanya, solusi atas masalah ini bukan hanya soal menyelesaikan pidana mutilasinya, tapi harus fokus menghentikan faktor pendorongnya, yaitu praktik kohabitasi.
Berbagai kasus kohabitasi berujung mutilasi tersebut menegaskan realitas rusaknya pergaulan di tengah masyarakat hingga berakhir dengan pembunuhan. Saat ini kohabitasi atau kumpul kebo sudah sering dilakukan generasi muda. Laki-laki dan perempuan nonmahram hidup bersama tanpa ikatan pernikahan selama bertahun-tahun. Mereka sudah tidak mengindahkan norma masyarakat maupun syariat agama (Islam). Gaya hidup sekularisme liberal menuntun mereka untuk mengejar kesenangan bersama pasangan. Yang penting senang, yang penting keinginan biologis terpenuhi. Mereka tidak lagi peduli halal haram.
Demi mendapatkan kesenangan dunia seperti materi, tempat tinggal, pakaian kekinian, gadget, dan aneka gaya hidup lainnya, sebagian perempuan rela melepaskan kehormatannya dengan hidup bersama pacarnya. Jalan ini ditempuh karena jauhnya mereka dari pemahaman agama yang sahih. Meski muslim, memiliki nama Islam, dan berhijab, bukan jaminan mereka paham Islam. Paham sekularisme menjadikan mereka tidak takut dosa hingga nekat melakukan zina.
Kondisi masyarakat yang individualis memungkinkan dosa besar ini (zina) marak. Dalam tatanan kehidupan kapitalistik, manusia sibuk memenuhi kebutuhan masing-masing karena negara tidak mengurusi rakyatnya. Mayoritas masyarakat sudah tidak memiliki energi untuk mengurusi orang lain karena beban hidupnya sendiri sudah berat.
Di sisi lain, masyarakat juga cenderung sekuler liberal. Pacaran seolah-olah sudah menjadi hal lumrah sehingga menjadi urusan masing-masing orang. Jika ada yang bermaksiat, masyarakat menganggap bahwa dosa ditanggung masing-masing, jadi memunculkan narasi untuk tidak usah ikut-ikutan mengurusi dosa orang lain. Akibatnya, amar makruf nahi mungkar tidak berjalan. Kemaksiatan makin mendapatkan tempatnya dan tumbuh subur karena tidak ada yang menegur dan menasihati.
Apalagi pada banyak kasus, anggota masyarakat yang masih peduli dan melakukan amar makruf nahi mungkar justru dipidanakan. Maksud hati menegur pelaku maksiat, ternyata berakhir di bui. Sedangkan pelaku maksiat malah bebas. Kondisi ini menyebabkan kohabitasi makin marak.
Sebenarnya, jika kita lihat dari perspektif hukum di Indonesia, ada dua pasal dalam KUHP yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kohabitasi. Hukuman tersebut tertuang dalam pasal 416 dan pasal 411. Berdasarkan pasal 416, setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan dapat dijatuhi hukuman penjara selama maksimal 6 bulan atau denda dengan kategori II. Sedangkan pasal 411 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang bukan suami atau istri mereka dapat dikenakan hukuman karena perzinaan dengan maksimal hukuman penjara satu tahun atau denda kategori II. Besaran denda kategori II diatur dalam pasal 79 ayat 1 UU KUHP, yaitu sebesar Rp10 juta.
Namun, pelaku kohabitasi hanya bisa dijatuhi hukuman jika ada laporan dari pihak-pihak seperti suami atau istri seseorang yang terikat perkawinan, atau orang tua atau anak bagi mereka yang tidak terikat perkawinan. Seperti dalam kasus perzinaan, pengaduan mengenai kohabitasi juga bisa dicabut selama proses persidangan belum dimulai. Apalagi, dengan adanya delik aduan absolut, tindakan penggerebekan oleh masyarakat atau orang yang tidak memiliki hubungan keluarga tidak dapat dijadikan dasar untuk menindak pelaku kohabitasi sebagai tindak pidana.
Tentu saja, gambaran dalam sistem hukum saat ini sangat lemah. Bagaimana mungkin, perzinaan dianggap sebagai hak individu. Hal ini dianggap biasa sehingga pelakunya terlepas dari tindakan hukum, terutama bagi mereka yang berzina karena kesepakatan bersama. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga tidak luput dari kontroversi karena adanya istilah persetujuan seksual di dalamnya. Akibatnya, liberalisasi seksual terjadi tidak hanya dalam hubungan seksual, tetapi juga dalam hubungan sesama jenis. Sangat disayangkan. Padahal, perzinaan adalah tindakan yang tercela dan dapat merusak generasi, bahkan merupakan dosa besar.
Na'udzubillaahi min dzaalik.
Solusi dalam Islam.
Islam menawarkan sistem sosial yang melindungi individu sekaligus masyarakat. Tiga pilar ini akan menjadi kehidupan terjaga dari segala macam kerusakan.
Pertama, ketakwaan individu menjadi benteng awal agar manusia mampu bertindak sesuai tujuan penciptaannya: beribadah kepada Allah Swt.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Dengan ketakwaan, seseorang akan menjauhi pacaran, kohabitasi, dan tindak kriminal.
Kedua, masyarakat Islam punya kewajiban saling menasihati, mengingatkan, dan mencegah kemungkaran. Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman." (HR. Muslim)
Kontrol sosial ini penting agar pergaulan bebas tidak dinormalisasi.
Ketiga, negara harus hadir dengan menerapkan Islam secara kafah. Negara membentuk kepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah, mengatur pergaulan dengan aturan syariat, serta menegakkan sanksi hukum terhadap pelaku jarimah (tindak pidana syariat). Rasulullah ﷺ bersabda: "Imam (Khalifah) adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, Islam juga memberikan sanksi yang berat terhadap pelakunya.
Untuk zina: jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah dera 100 kali (QS. An-Nur [24]: 2). Jika sudah menikah (muhsan), hukumannya rajam (HR. Muslim).
Untuk pembunuhan: hukumannya adalah qishash (dibalas setimpal), kecuali jika keluarga korban memaafkan dan menerima diyat (ganti rugi).
"Dan Kami telah tetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat), bahwa jiwa dibalas dengan jiwa..." (QS. Al-Maidah [5]: 45)
Sanksi ini bukan sekadar hukuman, melainkan mekanisme preventif. Dengan ketegasan hukum syariat, orang akan berpikir seribu kali sebelum berbuat maksiat atau tindak kriminal. Inilah bentuk penjagaan Islam terhadap jiwa, kehormatan, dan moral masyarakat.
Kasus mutilasi di Mojokerto hanyalah satu dari sekian potret buram akibat gaya hidup bebas yang dilegalkan oleh sistem sekularisme. Hari ini mungkin satu nyawa melayang, besok bisa lebih banyak lagi generasi yang rusak, jika masyarakat terus membiarkan nilai-nilai liberal merusak sendi kehidupan.
Pertanyaannya, sampai kapan kita menutup mata? Apakah kita rela generasi muda terus terjebak dalam jurang pergaulan bebas, dengan alasan kebebasan dan modernitas, sementara masa depan mereka hancur perlahan?
Maka, marilah kita kembali kepada aturan Allah Swt. Karena Islam satu-satunya agama yang benar dan solusi bagi setiap permasalahan manusia, di sanalah terdapat keselamatan, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Wallahu a'lam bishshawwab