| 206 Views

Ketika Rumah Hanya Untuk Wakil Rakyat

Oleh : Ummu Qianna

Tunjangan rumah dinas bagi anggota DPR kembali menjadi sorotan, menambah panjang daftar fasilitas yang diterima oleh para wakil rakyat. Fasilitas ini tentu diberikan dengan harapan dapat mempermudah tugas mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Sebagai wakil rakyat, mereka diharapkan bisa bekerja secara efektif dan efisien dengan adanya tunjangan tersebut. Namun, apakah realita yang ada saat ini mendukung harapan tersebut? Pertanyaan ini sering kali muncul di benak banyak orang, mengingat kinerja anggota dewan pada periode-periode sebelumnya tidak selalu sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

dilansir dari kompas.com Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa kebijakan pemberian tunjangan perumahan kepada anggota DPR periode 2024-2029 adalah salah satu bentuk pemborosan anggaran negara. ICW memperkirakan bahwa total anggaran yang dihabiskan untuk tunjangan perumahan ini akan mencapai antara Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun selama lima tahun mendatang.

Kritik terhadap tunjangan rumah dinas ini muncul bukan tanpa alasan. Dengan adanya rumah jabatan yang sudah disediakan untuk mereka, pemberian tunjangan tambahan ini dinilai sebagai pemborosan anggaran negara. Rumah jabatan sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan tempat tinggal para anggota dewan selama mereka bertugas di Jakarta. Namun, tunjangan tersebut justru memperlihatkan kesan bahwa mereka mendapatkan hak ganda, yang mengarah pada potensi penggunaan anggaran negara yang tidak efisien.

Selain itu, tunjangan ini menimbulkan persoalan lain terkait transparansi dan akuntabilitas. dilansir dari tirto.id Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik keputusan untuk mengalihkan rumah jabatan anggota DPR RI periode 2024-2029 menjadi tunjangan perumahan. Menurut ICW, langkah ini akan menyulitkan pengawasan. Peneliti ICW, menjelaskan bahwa dengan peralihan dari pemberian rumah fisik ke tunjangan, pengawasan penggunaan tunjangan tersebut akan menjadi lebih sulit, terutama karena dana tersebut ditransfer langsung ke rekening pribadi setiap anggota dewan.

Tidak heran jika banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana dana ini dikelola dan apakah benar-benar digunakan untuk kepentingan yang sesuai. Ada kekhawatiran bahwa tunjangan ini hanya akan memperkaya para anggota dewan tanpa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang mereka wakili.

Kondisi ini semakin kontras dengan realita yang dihadapi oleh rakyat. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, banyak masyarakat yang kesulitan untuk memiliki rumah sendiri. Bahkan, ada beban tambahan berupa iuran Tapera bagi pekerja, yang semakin memberatkan mereka. Sementara itu, keputusan-keputusan yang diambil oleh anggota dewan terkadang justru membuat hidup rakyat semakin susah. Ironi ini semakin memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap kinerja para wakil rakyat.

Dalam perspektif Islam, konsep wakil rakyat juga ada, namun dengan peran dan fungsi yang berbeda. Dalam Islam, ada Majelis Ummah, yang bertugas sebagai penyambung lidah umat. Berbeda dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi, anggota Majelis Ummah tidak bertindak atas dasar kepentingan pribadi atau partai politik. Mereka murni mewakili umat berdasarkan iman dan kesadaran penuh bahwa tugas ini merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Kesadaran ini membuat anggota Majelis Ummah fokus pada fungsi mereka sebagai penyalur aspirasi umat. Mereka tidak terjebak pada keistimewaan atau fasilitas yang diberikan negara. Sebaliknya, mereka lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan berusaha untuk menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya karena menyadari bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. Prinsip ini sangat berbeda dengan yang sering terlihat dalam sistem demokrasi, di mana anggota dewan kerap kali lebih terfokus pada kepentingan pribadi atau kelompok.

Islam juga memiliki aturan yang jelas terkait dengan harta, kepemilikan, dan pemanfaatannya. Harta dalam Islam harus dikelola dengan amanah dan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Aturan ini memastikan bahwa harta negara digunakan secara efisien dan tepat sasaran, demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, sistem yang ditawarkan Islam tidak hanya lebih adil, tetapi juga lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya negara.

Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa melihat bahwa sistem yang diterapkan saat ini, meskipun mungkin memberikan banyak fasilitas, belum tentu mampu menjawab kebutuhan rakyat secara optimal. Harapan agar wakil rakyat benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat sepertinya masih jauh dari kenyataan. Sebaliknya, fasilitas-fasilitas tambahan justru berpotensi menjadi beban anggaran negara yang tidak perlu, yang pada akhirnya merugikan rakyat sendiri. Wallahu’alam bii shawwab


Share this article via

81 Shares

0 Comment