| 151 Views

Kesadaran Ibu Kritis di Era Kapitalisme

Oleh : Vella
Aktivis Remaja Andoolo Sulawesi Tenggara

Ibu adalah pelindung anak-anaknya. Ketika anaknya terjadi sesuatu, maka ibulah yang menjadi garda terdepan. Sayangnya berbeda dengan ibu belakangan ini.

Seorang ibu muda berinisial R (22) di Tangerang Selatan, Banten, dilaporkan melecehkan anak kandungnya sendiri yang berusia 4 tahun. Kejadian serupa kembali terjadi. Kali ini, polisi menangkap ibu inisial AK (26), yang tega mencabuli putra kandungnya yang masih berusia 10 tahun di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Setelah ditelusuri kasus ini bermotif ekonomi atas permintaan seorang pemilik akun Facebook berinisial IS (Detiknews, 9/6/2024).

Peristiwa kekerasan terhadap anak dan kekerasan oleh anak belakangan ini sering menjadi berita di berbagai media. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2021 terdapat setidaknya 11.952 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni). Sebanyak 7.004 kasus (58,6 persen) merupakan kasus kekerasan seksual.

Kasus ini merupakan masalah sosial yang serius, tetapi belum ada yang dapat menjelaskan hal tersebut secara memuaskan. Ketidakmampuan menjelaskan akar masalah sosial tersebut akan dapat berdampak kepada dihasilkannya kebijakan yang tidak efektif dalam memecahkan masalahnya. Dampak lebih lanjutnya adalah bahwa masalah kekerasan terhadap anak dan oleh anak akan menjadi semakin ramai.

Kekerasan seksual terhadap anak menunjukkan bahwa praktik perlindungan terhadap anak tidak berpengaruh sama sekali. Sementara kekerasan seksual oleh anak menunjukkan bahwa anak belum memahami nilai dan norma seksualitas sosial. Dengan kata lain, kedua gejala masalah sosial tersebut dapat dikatakan sebagai kegagalan praktik pengendalian sosial terhadap anak.

Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan pengendalian sosial adalah berbagai mekanisme yang dibuat masyarakat, baik secara formal, informal, dan nonformal. Tujuannya untuk memastikan bahwa setiap warga masyarakat tidak kondusif menjadi pelaku pelanggaran nilai dan norma sosial, selain itu agar struktur sosial menjadi tempat yang tidak efektif bagi dilakukannya pelanggaran.

Apabila penanganan sosial berjalan efektif, maka tingkat pelanggaran nilai dan norma sosial menjadi relatif terkendali. Meskipun misalnya dalam masyarakat masih terdapat pelanggaran nilai dan norma sosial (yang tingkatnya relatif rendah).

Nilai sosial merupakan pandangan masyarakat tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Kekerasan yang dilakukan oleh anak dalam berbagai bentuk merupakan indikasi bahwa nilai tersebut tidak dipahami dan dihayati oleh anak. Sementara itu, norma sosial merupakan pedoman perilaku dengan cara bagaimana nilai sosial tersebut diterapkan dalam bentuk tindakan.

Nilai dan norma sosial seksualitas harus ditanamkan kepada anak oleh para agen sosialisasi sosial, yaitu orangtua atau walinya, guru dan sekolah, dan oleh masyarakat umum. Yang menjadi masalah adalah banyak dari agen-agen sosialisasi nilai dan norma sosial seksualitas tidak mempunyai kompetensi untuk menanamkan nilai dan norma sosial seksualitas karena berbagai alasan.

Para orangtua, misalnya, merasa canggung untuk menanamkan nilai dan norma sosial seksualitas terhadap anaknya. Atau barangkali orangtuanya merupakan produk gagal yang gagal paham terhadap adanya nilai dan norma seksualitas tersebut.

Guru dan sekolah barangkali juga tidak mempunyai kompetensi menanamkan nilai dan norma sosial seksualitas karena pembinaan guru dan sekolah lebih condong untuk diarahkan menjadi pengajar dan lembaga pengajaran daripada pendidik dan lembaga pendidikan. Masyarakat umum, khususnya dunia bisnis, tidak peduli akan adanya nilai dan norma sosial seksualitas tersebut karena tidak melakukan usaha untuk memfilter informasi seksualitas yang belum pantas dikonsumsi oleh anak dalam pertunjukan film di gedung bioskop, dalam sinetron, dan dalam konten media sosial.

Untuk mengatasi hal tersebut, negara (pemerintah) harus mempunyai program pendidikan masyarakat dalam penanaman nilai dan norma sosial seksualitas melalui berbagai media yang popular dikonsumsi masyarakat. Program yang dapat dilakukan, misalnya, pemerintah membuat cerita sinetron yang proporsional untuk menanaman nilai dan norma sosial seksualitas yang dicirikan, antara lain, oleh adanya keakraban keluarga.

Strategi ini jangan diserahkan ke sektor swasta karena sektor swasta lebih mengutamakan keuntungan ekonomi daripada membangun masyarakat. Melalui pendidikan formal, diadakan kurikulum pendidikan sosial seksualitas yang membahas tentang syarat-syarat sosial, ekonomi, psikologis, dan yuridis bagai pemenuhan kebutuhan seksual.

Jika ditelisik lebih jauh solusi yang ditawarkan masih belum menyentuh akar permasalahan, karena rancangan undang-undang seperti ini sudah berulang kali dibuat kemudian direvisi. Dibuat lagi tapi tetap saja kasus kekerasan seksual terus meningkat. Pada dasarnya kasus kekerasan seksual ini tidak murni kesalahan individu semata tetapi efek dari penerapan sistem yang rusak yakni sistem sekularisme dan liberalisme.

Sistem sekularisme yang memisahkan peran agama dalam mengatur kehidupan membuat kehidupan manusia kacau dan bertindak sesuai hawa nafsu. Agama hanya dianggap ibadah ritual individu yang tak layak mengatur kehidupan umum. Padahal dengan aturan agamalah hidup manusia tertata dengan baik. Selain itu, pengaruh sistem liberalisme juga memperparah keadaan karena melahirkan kebebasan. Bebas bertindak, berekspresi, beragama dan bebas pula dalam hal kepemilikan.

Pristiwa ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan dalam mencetak individu berkepribadian Islam dan siap mengemban amanah sebagai ibu. Di sisi lain juga menunjukan lemahnya negara dalam mewujudkan kesejasteraan rakyat, sehingga membuat ibu tergoda melakukan maksimat demi sejumlah uang. Pendidikan keluarga yang berbasis sekulerisme membuat ibu kehilangan fitroh. Uang menjadi pilihan saat kesejahteraan tidak terpenuhi. Sedangkan negara Islam memiliki sistem pendidikan yang handal dalam menyiapkan manusia berperan sesuai dengan fitrahnya. Pendidikan dalam keluargapun dilandaskan kepada ketakwaan. Islam juga memiliki sistem ekonomi yang baik termasuk dalam kemampuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi para pencari nafkah.


Share this article via

64 Shares

0 Comment