| 189 Views
Kebijakan Pajak Terus Dinaikkan, Solutifkah?

Oleh : Ummu Raffi
Ibu Rumah Tangga
Beberapa waktu lalu, lagi-lagi publik digemparkan dengan pemberitaan mengenai kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen per Januari 2025, hal ini merupakan kado pahit di awal tahun bahkan banyak menuai pro kontra di masyarakat.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani menilai, karena adanya sensitivitas pemerintah terhadap ekonomi nasional. Alhasil, kebijakan tersebut hanya ditujukan untuk barang mewah dan tidak pada kebutuhan sehari-hari masyarakat. (tempo.co, 02/01/2025)
Meskipun kenaikan PPN ditujukan untuk barang mewah dan fasilitas mewah lainnya. Namun, fakta di lapangan sangat berimbas pada perekonomian menengah ke bawah. Ditambah ketika menjelang momen hari besar, semua harga kebutuhan pokok melonjak naik. Lantas, kebijakan pemerintah dengan terus menaikkan pajak, solutifkah
mengatasi perekonomian negeri ini?
Pemerintah seakan memberikan angin segar kepada masyarakat ekonomi rendah atas kebijakannya yang hanya diperuntukkan bagi barang mewah, dengan dalih memberikan diskon listrik 50 persen untuk daya di bawah 2.200 selama dua bulan. Namun, upaya tersebut hanya sebatas tambal sulam dan bentuk lepas tangan pemerintah terhadap beban ekonomi masyarakat.
Pajak merupakan salah satu kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme, juga sebagai bukti lemahnya negara dalam mengurusi rakyat. Dalam sistem saat ini, pajak menjadi sumber utama pendapatan negara untuk menggerakkan roda perekonomian, seperti pelayanan publik, pembangunan infrastruktur dan lainnya. Namun, kebijakan ini sering kali menuai kritik tajam karena dianggap tidak adil dan menyengsarakan rakyat, serta setiap kebijakan-kebijakannya hanya menguntungkan segelintir orang.
Dalam sistem kapitalisme, pajak dibebankan kepada seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang tingkat kemampuan ekonomi mereka. Akibatnya, rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan akan terbebani oleh pajak. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam berlimpah, seharusnya menjadi tanggung jawab penuh negara dalam pengelolaannya, sehingga seluruh rakyat akan tercukupi dan sejahtera.
Berbeda dalam sistem Islam. Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan berorientasi mensejahterakan seluruh rakyatnya, tanpa membedakan pangkat dan kedudukan. Dengan menjadikan negara sebagai pelayan rakyat, pengelola sumber daya alam untuk kepentingan umum, dan memastikan kesejahteraan setiap individu tanpa diskriminasi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, "Pemimpin (imam) adalah raa'in (pengurus) dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya." (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara, melainkan langkah terakhir yang diberlakukan dalam kondisi tertentu. Seperti, ketika ada kebutuhan mendesak yang bersifat wajib dan kas negara kosong. Selain itu, pajak hanya diperuntukkan pada masyarakat mampu, sehingga tidak membebani kalangan ekonomi lemah.
Negara tidak hanya berperan sebagai regulator atau fasilitator, tetapi sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Kebijakan yang dibuat harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan para korporasi.
Dalam Islam, kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) seperti tambang, minyak bumi, gas, air, dan lainnya adalah harta milik umum. Negara bertanggung jawab dalam pengelolaanya sesuai dengan syariat, dan hasilnya digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat.
Seperti, menyediakan layanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan pembangunan infrastruktur yang merata. Dengan demikian, kebutuhan rakyat terpenuhi tanpa membebani rakyat dengan pajak yang mencekik.
Selain itu, negara memiliki berbagai sumber pemasukan yang halal dan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rakyat, seperti zakat yang merupakan pemasukan wajib bagi umat Islam dan menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara. Zakat didistribusikan langsung kepada mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin, yatim piatu, dan orang-orang yang berhak menerimanya.
Kemudian fa’i dan ghanimah yaitu, harta rampasan perang atau harta yang diperoleh tanpa melalui perang digunakan untuk kemaslahatan umat. Selanjutnya kharaj, merupakan pajak atas tanah yang dikuasai oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan rakyat.
Jizyah yaitu, pajak khusus bagi non muslim yang tinggal di wilayah negara Islam sebagai ganti dari kewajiban militer mereka. Dengan adanya berbagai sumber pemasukan tersebut, negara dapat menjalankan fungsinya tanpa harus mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa Islam menetapkan aturan yang sangat rinci dan komprehensif mengenai pajak yang diberlakukan sesuai hukum syara.
Disertai keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, seorang pemimpin akan menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam seluruh lini kehidupan, sehingga tidak akan semena-mena mengeluarkan kebijakan yang dapat menyengsarakan rakyatnya. Alhasil, kemaslahatan pun akan dirasakan seluruh masyarakat, baik muslim maupun non muslim.
Wallahu'alam bissawab.