| 16 Views

Kasus Tambang Nikel Raja Ampat: Cengkeraman Oligarki dalam Sistem Sekuler

Oleh : Ainul Mizan 
Peneliti LANSKAP

Ijin usaha tambang nikel di Raja Ampat Papua Barat yang diberikan oleh Kementerian ESDM telah menuai kritik pedas dari publik tanah air. Hal tersebut terjadi setelah aktivis Greenpeace membentangkan spanduk protes dalam sebuah acara bertajuk Indonesia Critical Mineral Conference and Expo pada 3 Juni 2025. Acara tersebut dihadiri oleh Wamenlu di Hotel Pullman Jakarta.

Kementerian ESDM mengakui telah memberikan ijin kepada PT GAG Nikel untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Raja Ampat sejak 2017, meskipun baru beroperasi di 2018. Apalagi PT GAG Nikel ini termasuk salah satu dari 13 Kontrak Karya yang dikecualikan dari larangan usaha di wilayah hutan lindung. Bahkan PT GAG Nikel ini memegang hak konsesi hingga 2047.

Kementerian ESDM juga mengklaim kalau PT GAG Nikel tidak merusak. Dari total 263 ha yang dilakukan penambangan, 131 ha sudah direklamasi. Selebihnya ada yang dalam tahap penilaian rehabilitasi lingkungan seluas 59 ha. Sisanya masih dalam perawatan.

Begitu pula sumbangan PT GAG Nikel terhadap pendapatan pajak negara sedemikian besar. Sepanjang 2021 saja, PT GAG Nikel menyetor pajak senilai Rp 346,67 milyar. Sementara laba yang diperoleh PT GAG Nikel dari mengeruk nikel Raja Ampat senilai Rp 819,77 milyar.

Maka tidak mengherankan bila PT GAG Nikel tidak dicabut ijin usaha pertambangannya. Padahal dari aspek aturan dalam UU No 27 tahun 2007 yang melarang adanya aktifitas penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Yang disebut pulau kecil adalah yang luasnya kurang dari 2000 km persegi. Sedangkan PT GAG Nikel mengantongi ijin operasi di Pulau GAG yang luasnya 77 km persegi. Hal demikian menunjukkan bahwa aturan perundang-undangan bisa dianulir dengan mengatasnamakan kontrak karya. Dengan kata lain, ada pembiaran terhadap korporasi yang membahayakan lingkungan hidup demi menambah pemasukan keuangan negara dari sektor pajak. Padahal nilai kekayaan yang diraup oleh korporasi jauh lebih besar dari pajak yang disetorkan kepada negara.

Sementara itu terhadap 4 operator tambang nikel lainnya, pemerintah telah mencabut IUP-nya.  Keempatnya adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Nurham. Mereka diklaim tidak memiliki dokumen lingkungan hidup. Ini tentu bisa dimengerti. Bila yang dijadikan alasan adalah penambangan di pulau kecil tentunya PT GAG Nikel tidak akan aman dari tuntutan pencabutan IUP. Artinya dunia mineral dan energi di negeri ini berada dalam cengkeraman oligarki. Oligarki yang berkolaborasi dengan penguasa dan pejabat.

Salah Kelola

Wisata Bahari Raja Ampat di Papua Barat telah menyumbang pendapatan yang sangat besar. Pada tahun 2011, Raja Ampat menyumbang Rp 1.734 milyar. Dan pada tahun 2016, Raja Ampat menyumbang Rp 7.005 milyar. Dari total pendapatan itu sebesar 30 persen disetor sebagai PAD (Pendapatan Asli Daerah). Jika dibuat rerata maka Raja Ampat telah menyumbang sekitar Rp 150 milyar per tahun terhadap PAD. Anehnya, masyarakat Papua Barat masih berada dalam kemiskinan yang parah.

Pada sensus 2025, jumlah penduduk Papua Barat sebanyak 247.441 jiwa. Sedangkan jumlah kemiskinan di tahun 2024 masih di angka 108-110 ribu penduduk. Sungguh miris sekali.

Ternyata tidak hanya miskin penduduknya, di Papua Barat Daya termasuk di Kabupaten Raja Ampat angka korupsi masih sangat tinggi. Indeks korupsi di Papua Barat sebesar 64,84 dan Raja Ampat sebesar 64,62. Artinya daerah Papua Barat dan Raja Ampat rentan korupsi. Walhasil bisa dipahami bila kekayaan yang besar tidak bisa meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dikarenakan budaya korupsi masih terjadi.

Ditambah pula ada penambangan bijih nikel yang merusak lingkungan wisata Raja Ampat. Korporasi dan oligarki operator tambang tidak akan pernah memikirkan rakyat. Untung rugi menjadi standarnya. Maka kekayaan wisata dan tambang yang melimpah hanya memperparah kemiskinan rakyat dalam tata kelola yang salah.

Tata kelola yang salah terjadi ketika Sekulerisme menjadi asas dalam pengelolaan semua SDA. Tidak ada lagi halal dan haram. Tentunya tidak mengherankan bila terjadi pembiaran terhadap operator-operator tambang yang nakal. Viral saat ini, akhirnya kasusnya menghilang sebagaimana kasus pagar laut.

Langkah Tegas Mengatasi Mafia Tambang

Kasus tambang akan terus terjadi selama kehidupan berbangsa dan bernegara ini diatur dengan Ideologi Kapitalisme yang berasaskan Sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan dan negara). Oleh karena itu langkah utama yang harus dilakukan adalah membuang Sekulerisme. Selanjutnya menyelenggarakan kehidupan bernegara berdasarkan Aqidah Islam dengan menerapkan Syariat Islam.

Berikutnya solusi Islam dalam menyelesaikan kasus pertambangan adalah sebagai berikut:
Pertama, Islam menempatkan bahwa SDA adalah milik umum yakni milik rakyat. Yang pengelolaannya menjadi kewenangan negara. Kalaupun negara menggandeng perusahaan, maka dengan akad ijarah. Dengan demikian hasil yang besar dari SDA bisa dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, Islam menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah pelayan rakyat. Dalam memimpin, yang dipikirkannya adalah kepentingan rakyat. Ia kuatir bila melakukan abise of power. Ia sadar akan berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Ta'ala.

Ketiga, Islam menggariskan bahwa haram hukumnya melakukan kerusakan di muka bumi. Penambangan dilakukan tetap dalam koridor menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup. Maka proses yang baik dengan mengambil aspirasi dari masyarakat setempat terkait kondisi alam di sekitarnya ikut menentukan pengambilan keputusan yang tepat.

Keempat, Islam akan memberikan sangsi yang tegas terhadap semua bentuk penyelewengan kewenangan dalam pengelolaan SDA. Kasus kejahatan korupsi dalam penerbitan IUP akan mendapatkan sangsi takzir sesuai dengan kadar mudharatnya terhadap kehidupan bangsa dan rakyat. Termasuk mencabut ijin operasional tambang perusahaan secara permanen.

Kelima, Islam tidak memberikan ijin perusahaan asing apalagi dari negeri Kafir harbi fiklan guna melakukan eksplorasi dan eksploitasi SDA umat Islam. PT ASP merupakan PMA China yang bermain di Raja Ampat. Dengan begitu, negara tidak akan bergantung kepada negara-negara kafir.

Tatkala umat Islam bersatu dalam keKhilafahan, maka akan banyak perusahaan yang siap membantu negara dengan akad ijarah dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA. Walhasil hasil pemasukan melimpah dari SDA betul-betul bisa dikelola untuk kesejahteraan rakyat dalam nuansa keimanan dan ketaqwaan.


Share this article via

1 Shares

0 Comment