| 13 Views
Kasus Pagar Laut, Oligarki dalam Sistem Kapitalisme

Oleh : Khantynetta
Pagar laut misterius yang membentang sepanjang 30 kilometer di pesisir Tangerang telah memicu kontroversi besar. Investigasi mendalam mengungkapkan adanya kaitan antara pembangunan pagar laut ini dengan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan konglomerat Sugianto Kusuma atau Aguan, pemilik Agung Sedayu Group. Perusahaan-perusahaan tersebut tercatat memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) di wilayah yang seharusnya menjadi kawasan laut (bbc.com, 28/01/2025).
Dugaan kuat menyebutkan bahwa pagar laut ini dibangun untuk membatasi area yang akan dijadikan lahan reklamasi untuk proyek strategis nasional yang tengah digarap oleh Agung Sedayu Group. Meskipun pihak perusahaan membantah keterlibatan mereka, temuan sertifikat HGB atas nama perusahaan-perusahaan afiliasi mereka semakin memperkuat dugaan tersebut.
Begitu pula dalam hal keberadaan sertifikat hak atas tanah. Nusron mengatakan bahwa kawasan pagar laut telah memiliki SHGB dan SHM. Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono justru heran mengapa sertifikat dapat diterbitkan, padahal menurut undang-undang, seluruh wilayah laut adalah milik umum sehingga tidak boleh ada sertifikat. Ia menduga pembangunan pagar laut tersebut memiliki tujuan tersembunyi, yakni membuat lahan baru.
Silang pendapat di antara para pejabat pemerintahan ini menunjukkan lemahnya aturan yang ada. Aturan yang notabene buatan manusia tersebut memiliki celah untuk dipermainkan sehingga tindakan yang merugikan rakyat dan negara bisa legal (sesuai aturan). Celah ini dimungkinkan ada karena proses pembuatan aturan oleh manusia sarat akan kepentingan pihak-pihak yang mencari keuntungan.
Dalam konteks pagar laut, ada raksasa oligarki yang berkepentingan untuk memperoleh lahan demi memperluas bisnisnya. Dengan memanfaatkan celah aturan yang ada, lahan pun bisa didapatkan meski saat ini masih berupa laut. Ke depan, dengan melakukan reklamasi, laut yang sudah tersertifikasi bisa menjadi lahan yang siap untuk dibangun. Proyek properti di daratan tidak pernah dirasa cukup sehingga laut pun dikaveling untuk dijadikan daratan demi memperoleh keuntungan lebih banyak
Dalam kondisi ini, seharusnya negara hadir dan terdepan dalam membela kedaulatan wilayah dan nasib rakyat. Sayang sekali, negara justru membiarkan oligarki kapitalis menguasai wilayah yang seharusnya milik umum seluruh rakyat. Bahkan, sebagian “oknum” pejabat negara menjadi bagian dari oligarki penguasa yang memuluskan jalan para kapitalis menguasai laut. Ini tampak dari keluarnya sertifikat HGB dan SHM untuk laut yang secara hukum merupakan milik umum.
Sikap negara yang tidak tegas dan bahkan berpihak pada para kapitalis yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat ini mewujud karena model negara yang ala kapitalisme, yaitu tidak memiliki kedaulatan dalam mengurus urusan rakyat. Kedaulatan tersebut tergadaikan akibat prinsip kebebasan kepemilikan yang merupakan keharusan dalam sistem kapitalisme.
Meski lingkungan rusak dan rakyat sengsara akibat ulah para kapitalis yang mencaplok laut, negara tidak bisa menghukum mereka. Negara terbelenggu oleh doktrin kebebasan individu dan tidak bisa melindungi rakyat dari gurita kuasa para kapitalis.
Jadilah rakyat harus melawan korporasi sendirian, tanpa ada negara sebagai perisai (junnah). Akibatnya, rakyat mengalami intimidasi dan dalam posisi yang lemah karena negara tidak menjalankan perannya sebagai pengurus (raa’in) dan perisai (junnah). Negara hanya berperan menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para oligarki kapitalis, bahkan menjadi penjaga kepentingan kapitalis. Ini sungguh berbeda dengan profil negara dalam Islam.
Status kepemilikan dijelaskan secara detail dan gamblang dalam syariat Islam. Laut merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki individu maupun swasta.
Harta milik umum adalah harta yang dibutuhkan oleh seluruh kaum Muslim atau menjadi hajat hidup orang banyak, yang jika tidak tersedia akan menyebabkan keguncangan dan perselisihan, misalnya air. Rasulullah saw. menjelaskan sifat-sifat harta kepemilikan umum ini secara rinci dalam riwayat-riwayat shahih. Dari Abu Khurasyi dituturkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاء فِى ثَلاَثٍ: فى الْكَلإ وَالْمَاء وَالنَّارِ
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).
Jadi jelas, jika sistem Islam diterapkan tidak akan bisa muncul nasionalisasi bahkan swastanisasi sumber daya alam oleh segelintir orang.
Berdasarkan penjelasan mengenai definisi atas harta milik umum tersebut, maka bila dilihat secara seksama Indonesia memiliki begitu banyak potensi. Sumber Daya Alam yang dimiliki negeri ini begitu banyak dan berlimpah. Pengelolaan yang baik atas sumber-sumber alam tersebut tentu akan mampu menghidupi dan mensejahterakan rakyat. Keharaman kepemilikan harta umum atas segelintir orang, swasta atau pun asing tentu membutuhkan keberadaan penerapan syariat islam secara kaffah dibawah naungan Khilafah yang akan mengeliminasi aturan kufur yang rusak dan merusak. Wallahu A'lam bishawab. []