| 66 Views

Kabur Aja Dulu

Oleh : Siti Martiana

Tagar #KaburAjaDulu belakangan ramai diserukan warganet melalui media sosial, termasuk di X atau Twitter. Jika tagar #KaburAjaDulu dilihat di X, media sosial itu akan memunculkan unggahan warganet terkait kesempatan studi atau bekerja di luar negeri untuk "kabur" dari Indonesia.

"Warganet Serukan Tagar #KaburAjaDulu, Pengamat Ingatkan Ini jika Ingin Kabur ke Luar Negeri",

Analisis Drone Emprit menunjukkan bahwa kebanyakan netizen yang mencuitkan #KaburAjaDulu merupakan generasi muda. Mayoritas mereka berusia 19—29 tahun (50,81%). Sedangkan yang berusia di bawah 18 tahun mencapai 38,10%.

Cuitan tagar ini juga disertai dengan keluhan mereka mengenai buruknya  kondisi di Indonesia, seperti kesulitan mencari pekerjaan, upah rendah, kesulitan memperoleh pendidikan yang tinggi, korupsi, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Kualitas pendidikan yang rendah di dalam negeri bertemu dengan banyaknya tawaran beasiswa ke luar negeri di negara maju makin memberikan peluang untuk “kabur”. Sulitnya mencari kerja di Indonesia ,berakibat banyaknya tawaran kerja  di negara maju, baik pekerja terampil maupun kasar dengan gaji yang lebih tinggi.

Viralnya tagar ini mengindikasikan kenyataan bahwa banyak generasi muda Indonesia yang serius berniat meninggalkan negara ini untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik di luar negeri. Sebagian lainnya malah sudah menetap di luar negeri dan enggan kembali ke Indonesia.

Tren #KaburAjaDulu juga menjadi sinyal kekecewaan masyarakat yang sangat besar terhadap pemerintah Indonesia. Mereka memandang pemerintah Indonesia tidak mampu mewujudkan pendidikan yang layak, lapangan pekerjaan, dan jaminan kualitas hidup. Apalagi saat ini banyak negara kaya membutuhkan warga negara baru karena populasi penduduknya menua, seperti Jepang dan beberapa negara Skandinavia.

Tren #KaburAjaDulu mengonfirmasi adanya brain drain di kalangan muda. Brain drain atau human capital flight adalah fenomena ketika orang pintar dan berbakat memilih untuk bekerja di luar negeri. Brain drain kerap terjadi di negara-negara berkembang. Banyak orang dengan latar belakang ilmuwan, insinyur, maupun dokter yang memilih untuk bekerja di luar negeri.

Brain drain bisa terjadi karena orang-orang yang terdidik mencari penghidupan yang lebih baik di negara lain yang tidak bisa mereka dapatkan di dalam negeri. Data Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham menunjukkan, sebanyak 3.912 WNI usia 25—35 tahun memilih menjadi warga negara Singapura pada 2019 hingga 2022.

Fenomena brain drain menjadi isu krusial dalam konteks globalisasi/liberalisasi ekonomi yang makin menguat dan makin memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang sehingga menciptakan ketakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan. SDA di negara berkembang dikuasai oleh korporasi yang notabene berasal dari negara-negara maju sehingga rakyat negara berkembang tidak mendapatkan kesejahteraan.

Anggaran pendidikan juga minim sehingga rakyat kesulitan memperoleh pendidikan tinggi. Belum lagi korupsi yang menggurita sehingga dana pendidikan yang sudah minim makin menciut. Apalagi kini terjadi pemangkasan anggaran pendidikan yang berdampak besar pada kualitas layanan.

Negara berkembang seperti Indonesia juga tidak mampu menyediakan lapangan kerja di dalam negeri sehingga banyak generasi muda yang menganggur. Adapun yang bekerja juga tidak sejahtera karena tingkat upah rendah dan tidak cukup untuk hidup layak. Kondisi ini menggambarkan kegagalan kebijakan politik ekonomi di dalam negeri untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi rakyat.

Penyebab kegagalan negara berkembang untuk mewujudkan kesejahteraan di dalam negeri adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menerapkan kebebasan kepemilikan sehingga SDA bebas dikuasai segelintir kapitalis. Akibatnya, kekayaan berputar di kalangan kaya saja. Kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin makin terlihat.

Kapitalisme tidak hanya menyebabkan kesenjangan ekonomi di dalam negeri antara kapitalis dengan rakyat biasa, tetapi juga kesenjangan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang. 

Laporan Oxfam (20-1-2015) menunjukkan bahwa 1% orang terkaya kini menguasai 45% kekayaan global. Sedangkan 44% populasi dunia hidup dengan kurang dari US$6,85 (Rp112.031) per hari, dan tingkat kemiskinan global hampir tidak mengalami perubahan sejak 1990.

Kekayaan negara berkembang diangkut ke negara maju dengan modus investasi sehingga negara maju makin kaya dan negara berkembang makin miskin. Rakyat negara berkembang akhirnya terpaksa mengadu nasib ke negara maju.

Sebenarnya, orang Indonesia yang ke luar negeri juga menyadari bahwa biaya hidup di sana sangat tinggi, pajak juga sangat tinggi. Namun, kondisi di negara maju tetap dirasa lebih menyejahterakan sehingga mereka memilih bertahan di luar Indonesia. Apalagi Indonesia terkenal dengan iklim kompetisi yang tidak sehat. Jika ingin meraih pekerjaan atau posisi tertentu harus memiliki “orang dalam”, bukan hanya karena faktor kompetensi dan profesionalitas.

Kesenjangan ekonomi saat ini terjadi karena diatur dengan sistem sekuler kapitalisme.  Sebagaimana Allah Taala kabarkan dalam QS Ar-Ruum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Islam memosisikan negara sebagai raa’in (pengurus) urusan rakyat. Negara wajib mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tidak boleh membiarkan rakyat berada dalam kemiskinan, melainkan segera menyolusinya. Negara Islam (Khilafah) wajib memenuhi seluruh kebutuhan asasi (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) tiap warga negara individu per indvidu. Inilah realisasi politik ekonomi Islam.

Untuk mewujudkan jaminan pemenuhan kebutuhan asasi ini, Khilafah akan melakukan hal-hal berikut ini. Khilafah akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi para laki-laki karena mereka adalah pihak yang wajib menafkahi keluarganya. Negara akan mengelola SDA milik umum (tambang, laut, hutan, sungai, danau, gunung, dll.). Hal ini akan membuka lapangan kerja yang sangat luas.

Hasil dari pengelolaan kekayaan umum oleh negara akan dikembalikan kepada rakyat, baik dalam bentuk produk (seperti BBM, gas, dll.) maupun layanan publik. Ini menjadikan rakyat hidup sejahtera.

Negara juga akan mendukung industri dalam negeri dengan melakukan industrialisasi dan membebaskan pengusaha dari pungutan yang tidak syar’i sehingga iklim usaha menjadi kondusif dan mampu menyerap tenaga kerja. Negara tidak akan melakukan impor jika diduga kuat akan menyebabkan bahaya (dharar) bagi industri dalam negeri.

Negara akan mendukung industri agar bisa berkembang dan produknya terserap oleh pasar dalam negeri. Sektor pertanian, peternakan, perdagangan, dan jasa juga didukung untuk maju sehingga bisa mewujudkan lapangan kerja bagi generasi muda.

Khilafah memiliki banyak sumber pemasukan negara sehingga memungkinkan terjaminnya kesejahteraan rakyat dengan model penguasa sebagai raa’in. Selain itu, negara juga menyediakan berbagai fasilitas layanan yang dibutuhkan dalam kehidupan secara berkualitas dengan biaya murah, bahkan gratis sehingga rakyat tidak perlu kabur ke luar negeri untuk mendapatkan fasilitas tersebut.

Khilafah berperan menyiapkan kualitas generasi muda dengan menerapkan sistem pendidikan Islam sehingga SDM menjadi berkualitas, saleh, dan cerdas. Negara menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis sehingga setiap individu rakyat bisa menikmati pendidikan hingga level tinggi.

Anak-anak muda ini akan diarahkan oleh negara untuk mengisi posisi-posisi yang ada secara profesional sehingga menjadi SDM unggulan yang bermanfaat bagi umat dan tidak perlu #KaburAjaDulu dari wilayah Khilafah. Sebaliknya, justru banyak warga di luar Khilafah yang ingin merasakan kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah.

Wallahualam bissawab


Share this article via

31 Shares

0 Comment