| 123 Views

Intervensi AS Bermain di Suriah

Oleh : Dian
Aktivis Muslimah

Kentalnya intervensi AS (Amerika Serikat) di balik runtuhnya Rezim Bashar Assad tampak jelas terlihat di Suriah, melalui keterlibatan pemimpin Turki, Erdogan dari faksi-faksinya, karena AS dan Turki sendiri memiliki kedekatan dalam bidang strategis. Turki dan Erdorgan bisa disebut sebagai perantara AS di kawasan Timur Tengah, khususnya dalam konflik Suriah. AS butuh sekutu untuk menghadapi Rusia dan Iran yang belakangan selama bertahun-tahun berada di belakang rezim Assad. Turki dan Erdorgan adalah sekutu yang tepat untuk menghadapi aliansi Rusia dan Iran. Apalagi AS punya dua pangkalan militer besar di Turki yaitu Incirlik dan pangkalan udara Izmir Air Station.

Setelah mengalami pelemahan kekuatan akibat krisis ekonomi, AS menjadikan Turki sebagai sekutu sekaligus perantara konflik di Suriah. Salah satu agenda besar AS adalah mengganti penguasa Suriah dengan yang lebih bisa dikendalikan untuk membatasi ruang gerak Rusia dan Iran serta Cina di kawasan Timur tengah. Karena, dengan jatuhnya Damaskus menjadi kesempatan AS untuk menjalankan agenda politiknya, juga menjaga kepentingan AS.

Inilah konstelasi politik internasional yang terjadi saat ini. Dalam hal ini negara pertama (Al -daulah Al ula) di dunia saat ini yaitu AS menjadi aktor utama yang memainkan percaturan politik dunia, melalui khitahnya yang luar biasa. Memainkan anak-anak caturnya untuk terus berupaya mendominasi dunia. Menyingkirkan rival-rivalnya dengan cara apa pun.

Ini terbukti, AS yang pada awalnya meminta agar rezim Suriah bisa melakukan duduk bersama Turki untuk menciptakan situasi politik yang damai dan tenang, tentunya dalam kendali AS. Namun sikap Bashar Assad yang mengulur-ulur dialog dengan Erdogan, akhirnya membuat Gedung Putih mengeluarkan persetujuan pada Turki untuk melakukan tekanan ke Damaskus (Suriah) dengan operasi militer di Suriah Utara pada 27/11/2024. Di luar dugaan, operasi militer itu sampai menjatuhkan Bashar Assad.

Menurut Menteri Luar Negeri AS, Blinken, Washington akan mengakui pemerintahan Suriah di masa depan jika pemerintahan tersebut dapat diandalkan, komprehensif, dan non-sektarian. Proses transisi ini harus mengarah pada pemerintahan yang kredibel, inklusif, dan non-sektarian yang memenuhi standar transparansi dan akuntabilitas internasional, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2254 (aljazeera.net, 10/12/2024).

Tak hanya itu, seorang pejabat tinggi Amerika yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, Amerika dan Turki berkomunikasi penuh mengenai perkembangan yang terjadi di Suriah baru-baru ini. Fokus mereka pada Suriah baru dan menjauh rezim Assad. Menurutnya, Hay’ah Tahrir al-Syam (HTS) akan memiliki peran penting dalam proses transisi di Suriah. Hubungan dengan HTS akan dilaksanakan dengan baik dan dengan memprioritaskan kepentingan Amerika. Yang penting bagaimana mengubah perkataan para pejabat tinggi HTS menjadi tindakan (Anadolu Agency, 9/12/2024).

Memang, Amerika ingin memaksakan rezim yang diinginkannya pada rakyat Suriah dan menerapkan Resolusi Dewan Keamanan No. 2254, yang dikeluarkan pada 2015, yang merupakan proyek yang diajukan Amerika kepada Dewan Keamanan. Resolusi tersebut mengatur tentang menjaga identitas sekuler negara, melestarikan institusi, dan mencegah penerapan Islam. Tampaknya Amerika telah mengambil beberapa janji dari Hay’ah Tahrir al-Syam (HTS) untuk melaksanakan hal ini, seperti yang dinyatakan oleh pejabat Amerika tersebut, dan dengan demikian pengorbanan rakyat Suriah untuk menggulingkan rezim sekuler serta mendirikan pemerintahan Islam menjadi sia-sia (hizb-ut-tahrir.info, 11/12/2024).

AS pun ketakutan, rezim bonekanya di negeri-negeri Muslim runtuh dan bangkitnya Kekhalifahan.  Ketakutan tersebut muncul dari lidah para pemimpinnya. Penasihat keamanan nasionalnya Jake Sullivan menegaskan bahwa AS akan berupaya memperkuat Yordania, entitas Zion*s Y4hudi, dan Irak, sehingga konflik di Suriah tidak berpindah ke negara-negara tersebut. Bahkan, beberapa hari yang lalu, Menlu AS Antony Blinken menekankan dalam pidatonya di hadapan Konferensi Menteri Luar Negeri NATO tentang perlunya mencegah kembalinya Khilafah (muslimahnews.net, 15/12/2024).

Siapa pun yang mengikuti realitas negeri-negeri Muslim menyadari, bara api masih berada di bawah abu. Setelah rakyat memberontak terhadap para penguasa mereka (Arab Spring) dan beberapa negara menyingkirkan para penguasa kriminal mereka, negara-negara besar bekerja sama dengan para agen mereka mampu menahan revolusi-revolusi tersebut dan mengganti satu agen dengan agen lainnya.

Meski kondisinya tidak berubah, rakyat terus menantikan hukum Allah SWT dengan tegaknya Khilafah Islam yang akan memerintah mereka dengan hukum Islam. Pasalnya, dengan kejadian-kejadian terkini di Suriah, AS tidak dapat menyembunyikan ketakutannya akan perubahan nyata di negeri-negeri Muslim, di saat rakyat akan bangkit melawan para penguasa tiran mereka.

Ketakutan juga memenuhi hati para penguasa Muslim sehingga para Menlu Yordania, Irak, Mesir, Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Iran bergegas bertemu di Doha untuk mengumumkan bahwa krisis saat ini di Suriah merupakan perkembangan yang berbahaya bagi keamanan regional dan internasional. Memang, tegaknya Khilafah Islam, paling ditakutkan bagi para penjajah kafir seperti AS dan negara-negara besar lainnya, karena dengan tegaknya Khilafah Islam kekuasaan mereka otomatis akan hancur dan tak akan menjadi negara adidaya lagi. 


Share this article via

74 Shares

0 Comment