| 12 Views
Harga Beras Terus Melejit, Hidup Rakyat Makin Terimpit

Oleh : Aljuju
Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Lilik Sutiarso mendukung langkah cepat Satgas Pangan Mabes Polri yang turun langsung melakukan pengecekan anomali distribusi beras SPHP di sejumlah pasar induk besar seperti Cipinang, Jakarta Timur.
Apresiasi terhadap langkah cepat Satgas Pangan dalam menginvestigasi anomali harga beras yang naik di saat stok beras yang melimpah mencapai 4,2 juta ton. Tentunya perlu langkah-langkah untuk validasi di lapangan,” ujar Prof Lilik, Kamis, (19/6/2025).
Menurut Prof Lilik, kenaikan harga beras sangat tidak masuk akal mengingat tahun ini produksi beras nasional dalam kondisi memuaskan, di mana stok cadangan beras pemerintah atau CBP tahun ini adalah yang tertinggi sepanjang sejarah.
“Anomali semacam ini tidak boleh dibiarkan karena merugikan masyarakat dan juga para petani. Bagaimana mungkin beras kita 4,2 juta tapi harga di sejumlah pasar naik,” katanya.
Berikutnya, kata Prof Lilik, spekulasi harga pedagang atau pelaku pasar yang melakukan spekulasi sehingga harga beras naik meskipun stok melimpah. Lalu ada juga biaya logistik untuk biaya transportasi dan penyimpanan yang juga dapat mempengaruhi harga jual beras di pasar.
“Tentunya beberapa analisa awal tersebut masih perlu dijustifikasi dengan kondisi yang terjadi di beberapa daerah yang memiliki pengaruh signifikan terkait fluktuasi harga beras di pasar,” katanya.
Kendati begitu, Prof Lilik mengatakan kenaikan harga beras di tengah melimpahnya stok cadangan beras pemerintah (CBP) berpotensi menimbulkan masalah besar.
"Masa stok CBP 4,2 juta ton harga beras naik. Ini tidak masuk akal dan harus ditelusuri sampai tuntas,” tuturnya.
Prof Lilik menambahkan beras SPHP seharusnya digunakan untuk kepentingan sosial seperti bantuan pangan dan operasi pasar, bukan masuk ke jalur distribusi komersial yang bisa menekan harga naik.
“Sekali lagi saya mendukung agar satgas pangan melakukan penelusuran anomali ini karena dampaknya sangat besar terutama pada penurunan daya beli bahkan sampai inflasi,” jelasnya.
Satgas Pangan pun menyatakan siap menindak setiap laporan masyarakat yang mengarah pada dugaan penyimpangan distribusi beras. Helfi menegaskan bahwa pihaknya tidak akan ragu untuk bertindak jika ditemukan bukti pelanggaran di lapangan.
Temuan Satgas Pangan terkait manipulasi data stok beras mengindikasikan bahwa tata kelola pangan di negeri ini masih bermasalah. Berikut beberapa alasannya.
Pertama, munculnya mafia pangan, kartel, atau oknum curang dalam manipulasi data stok beras tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalisme dengan rantai produksi dan distribusi yang kompleks. Bahkan, ini bisa melahirkan bibit korupsi di sektor pangan. Hal tersebut sudah terbukti dari kasus korupsi bansos beras beberapa tahun lalu yang merugikan negara hingga Rp127,5 miliar.
Permasalahan distribusi beras juga terjadi ketika ada temuan 300.000 ton beras berkutu di gudang Bulog yang sempat menghebohkan publik pada awal 2025. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp3,6 triliun. Bagaimana mungkin negara lalai dalam menjaga kualitas beras di gudang penyimpanan hingga terbuang sia-sia sebanyak itu?
Kedua, munculnya kasus manipulasi data stok beras demi bisa impor terjadi karena rusaknya integritas individu. Penerapan sistem sekuler kapitalisme mendorong individu melakukan segala cara agar mendapat keuntungan lebih banyak, meski harus merugikan orang lain. Selain itu, sistem ini membuat fungsi negara sebatas regulator yang memberi peluang pada perusahaan industri beras swasta berperan banyak dan bersaing dengan beras pemerintah.
Ketiga, konsep pasar bebas yang dianut sistem kapitalisme memungkinkan bagi swasta mengambil peran krusial dalam kebutuhan pasokan beras dalam negeri. Negara yang semestinya bertindak sebagai pemain utama dalam menyelenggarakan produksi dan distribusi pangan bagi rakyat justru memberi angin segar kepada swasta untuk mengelola produksi dan distribusi beras. Bahkan, terkadang perusahaan beras swasta menawarkan banyak hal melebihi apa yang dilakukan negara kepada petani, seperti akses peralatan pertanian yang mandiri dan modern, program budidaya padi, fasilitas talang air untuk petani, dan sebagainya.
Selain itu, kolaborasi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan swasembada pangan mengindikasikan bahwa negara tidak mandiri mengelola beras dalam negeri. Di sisi lain, konsep kebebasan kepemilikan yang dianut sistem kapitalisme sangat memungkinkan bagi swasta memiliki lahan seluas apa pun, termasuk lahan pertanian.
Keempat, mewujudkan swasembada pangan sejatinya tidak cukup dengan kebijakan-kebijakan teknis semacam pupuk bersubsidi, penetapan harga gabah petani, dan insentif untuk petani. Akan tetapi, swasembada pangan haruslah dilakukan dengan visi kemandirian pangan yang menyeluruh dan tidak bergantung pada kebijakan teknis, impor, apalagi menjalin kemitraan dengan swasta. Visi yang benar seharusnya membangun kedaulatan pangan mandiri dengan mengoptimalkan seluruh aspek yang dimiliki, mulai dari ketersediaan bibit, bahan baku, lahan pertanian, petani yang kompeten, teknologi, peralatan, pengawasan, hingga distribusi yang adil dan merata.
Pada akhirnya, visi kemandirian pangan negeri agraris tumbang di bawah tata kelola pangan berparadigma kapitalisme. Buktinya, beras menjadi lahan basah bisnis para kapitalis di negeri ini.
Oleh karena itu, diperlukan cara pandang yang komprehensif dan mendasar untuk melihat akar persoalannya. Problematik yang melingkupi pertanian dan pangan ini bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan problem sistemis dan ideologis. Semua yang menjadi faktor penyebabnya, berawal dari kesalahan paradigma dan konsep pengelolaan.
Jika kita cermati secara mendalam, kita bisa dapati bahwa karut-marut ini berpangkal dari sistem pengelolaan pertanian dan pangan yang kapitalistik neoliberal. Bahayanya sistem kapitalisme neoliberal ini bahkan telah menyimpangkan cara pandang tentang konsep pangan yang mana pengadaan pangan hanya mengutamakan aspek ekonomi, yakni untuk mengejar pertumbuhan ekonomi negara, bukan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat.
Bahkan, paradigma ekonomi alias untung-rugi ini makin melemahkan visi kedaulatan pangan dan menguatkan kapitalisasi pertanian dengan model industrialisasi pertanian. Impor yang makin jorjoran walaupun biaya impor mahal adalah bentuk hilangnya visi kemandirian tersebut. Begitu pula model pertanian modern, seperti food estate yang masif dikembangkan saat ini pun wujud dari korporatisasi atau industrialisasi pertanian.
Akibat paradigma tersebut, wajarlah jika tata kelola yang dijalankan oleh pemerintah (neoliberal) bukan berorientasi pada rakyat, bahkan penerapan sistem politik demokrasi malah makin meminggirkan peran negara yang sebenarnya. Negara (dalam hal ini pemerintah) hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat, sedangkan , pengurusan berbagai hajat publik diserahkan kepada korporasi. Hal ini kemudian melahirkan perusahaan pertanian skala besar menguasai semua rantai pangan, mulai dari produksi sampai konsumsi berorientasi komersialisasi.
Realitas ini menyebabkan sulitnya petani rakyat mendapatkan lahan, bahkan termasuk mendorong masifnya alih fungsi lahan pertanian. Begitu pula kesulitan mendapatkan saprotan juga karena petani harus membelinya dengan harga pasar (yang ditentukan korporasi), sedangkan subsidi dari pemerintah tidak cukup dan tidak sesuai kebutuhan.
Buruknya lagi, konsep reinventing government yang menjadi panduan kerja lembaga pemerintahan saat ini, mengarahkan unit teknis pemerintahan (seperti Bulog) hadir di tengah rakyat tidak semata melayani rakyat, tetapi justru sebagai pedagang. Bulog dan BUMN lainnya bukan lagi perpanjangan tangan negara untuk mengurusi kebutuhan rakyat, melainkan layaknya korporasi yang bersaing dengan korporasi swasta untuk mencari profit. Paradigma bisnis ini mencabut fungsi BUMN yang seharusnya menjalankan public service obligation (PSO) menjadi aktivitas komersial.
Seiring dengan itu, sistem ekonomi kapitalisme dengan nilai kebebasan dan mekanisme pasar bebas, telah melahirkan akumulasi modal oleh korporasi-korporasi raksasa yang membuka jalan bagi mereka untuk menguasai seluruh rantai usaha pertanian, produksi-distribusi-konsumsi, bahkan importasi. Dominasi perusahaan pertanian pangan seperti ini mampu mengendalikan pasokan pangan, harga pasar, hingga konsumsi masyarakat. Saat ini saja, pasar beras Indonesia makin mengarah kepada oligopoli, makin menyulitkan pemerintah dalam pengendaliannya.[5]
Demikianlah problem utama penyebab mahalnya harga bahan pangan, khususnya beras, yakni akibat penerapan sistem politik demokrasi yang melahirkan pemerintahan yang lemah dan abai mengurusi rakyat. “Penguasa” yang sesungguhnya bukanlah negara, melainkan korporasi yang berorientasi keuntungan. Praktik sistem ekonomi kapitalisme pun telah menimbulkan dominasi oleh korporasi besar dan menciptakan ketimpangan ekonomi. Alhasil, pemerintah harus meninggalkan semua arahan dari berbagai pihak yang masih mengacu pada konsep dan sistem kapitalisme.
Pangan adalah masalah krusial sehingga negara tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara harusnya memberi subsidi besar bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan dengan biaya produksi ringan dan memperoleh keuntungan yang besar.
Berbicara pangan pasti berkaitan erat dengan lahan pertanian, alat produksi, dan petani. Petani tanpa lahan pertanian bagaikan sopir tanpa mobil. Tanpa lahan, kehidupan petani akan tenggelam.
Bisa kita saksikan hari ini betapa banyak lahan-lahan kosong bertuan, tetapi tidak dikelola. Sementara itu, banyak petani justru tidak memiliki lahan sendiri untuk bertanam. Pada akhirnya mereka hanya menjadi buruh tani di negeri sendiri. Bahkan banyak di antara mereka harus menjual lahan akibat penggusuran demi proyek negara.
Negara Islam menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai salah satu dasar dalam pertahanan negara dan kesejahteraan rakyat. Sistem pertahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari pertahanan militernya. Namun, yang lebih utama adalah bagaimana negara memiliki ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat.
Masa kekhalifahan Islam merupakan masa kejayaan penerapan sistem ketahanan pangan. Umar bin Khaththab ra. pernah menerapkan inovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Kawasan delta Sunga Eufrat dan Tigris serta daerah rawa sengaja disulap dengan dikeringkan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan itu diteruskan hingga Khilafah Bani Umayyah.
Oleh karenanya, sistem pangan dalam Islam harus dilakukan secara berdikari, mandiri, dan tersistem. Terdapat dua aspek yang akan dilakukan negara Islam (Khilafah) dalam menjawab persoalan pangan. Dari aspek teknis, negara akan menetapkan kebijakan sebagai berikut.
Pertama, menghentikan impor dan memberdayakan sektor pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan dengan pengembangan teknologi budidaya pertanian, pengadaan alat pertanian yang canggih, pengembangan bibit unggul, harga pupuk yang terjangkau, memberi pelatihan dan keterampilan kepada petani hingga mumpuni, memberi akses air secara gratis karena air adalah milik umum yang merupakan faktor penting irigasi pertanian.
Adapun ekstensifikasi dapat dilakukan dengan:
(1). Membuka lahan-lahan baru dan menghidupkan tanah mati. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. (HR Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud).
(2). Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya. Siapa saja yang membutuhkan biaya mengelola tanah, negara akan memberinya modal dari baitulmal. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberikan harta dari baitulmal kepada para petani di Irak untuk membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka tanpa meminta imbalan dari mereka.
Apabila terdapat tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun, hak kepemilikan atas tanah itu akan hilang. Negara mengambil alih lalu mendistribusikannya kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan begitu, tidak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan tanpa ada pemanfaatannya.
Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik ribawi, monopoli, dan mematok harga. Negara akan menindak tegas siapa saja yang melakukan pelanggaran. Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah memerintahkan para penguasa wilayah untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu menguji mereka satu-persatu. Jika di antara mereka ada yang tidak mengerti hukum seputar muamalah dan jual beli, ia melarangnya masuk ke pasar seraya menyuruhnya mempelajari fikih muamalah hingga memahaminya. Diriwayatkan dari Abu Laits, ia berkata, “Seorang laki-laki tidak halal melakukan akad jual beli selagi ia belum menguasai bab fikih jual beli.” (Lisanul Hukkam)
Dari aspek ideologis, negara harus mengelola sistem pangan berdasarkan sudut pandang Islam kafah. Negara menerapkan sistem ekonomi berbasis syariat Islam dengan menetapkan kebijakan produksi dan distribusi pangan yang adil dan merata. Kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan melihat setiap kebutuhan pangan per kepala. Dengan begitu akan diketahui berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara untuk setiap keluarga.
Negara Khilafah akan menetapkan kebijakan yang dapat menjamin kesejahteraan petani, yaitu:
Pertama, membangun infrastruktur pertanian yang memadai, seperti jaringan irigasi yang canggih. Pada masa Kekhalifahan Umayyah, jaringan irigasi dibangun di seluruh wilayah lalu dikembangkan pompa-pompa irigasi hingga kincir air.
Khilafah juga membiayai pemeliharaan kanal-kanal besar untuk pertanian. Air dari Sungai Eufrat dialirkan hampir ke seluruh wilayah Mesopotamia (sekarang Irak), sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia. Negara juga membangun sebuah kanal besar yang menghubungkan dua sungai di Baghdad.
Kedua, memberikan dukungan permodalan baik dalam bentuk pemberian tanah, harga bibit dan pupuk murah, atau pinjaman tanpa bunga seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pinjaman tersebut baru dikembalikan dua tahun setelahnya.
Ketiga, menyediakan sarana produksi pertanian secara memadai dan memastikan produksi petani terdistribusi dengan baik, seperti membeli gabah petani dengan harga tinggi.
Keempat, mengembangkan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi, termasuk di bidang pertanian. Khilafah melahirkan banyak ilmuwan dan ahli pertanian, semisal Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al-Awwan yang menulis buku Kitab al-Fildhah. Ia menjelaskan secara rinci tentang 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan, hama, dan penyakit serta penanggulangannya. Karya seperti ini bermanfaat bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya. .
Demikianlah, Islam memberikan seperangkat sistem yang komprehensif dalam mengatasi pangan secara fundamental. Sistem politik ekonomi Islam akan mewujudkan visi pangan yang mandiri dan berdaulat.