| 24 Views

Gurita Korupsi, Niscaya Di Alam Kapitalisme

Oleh : Haerini Udin
Pegiat Literasi

Kejaksaan Negeri Kendari resmi menahan mantan Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir, setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan bersalah dalam kasus korupsi gratifikasi terkait izin pendirian enam gerai Alfamidi di Kota Kendari di bawah naungan PT Midi Utama Indonesia. Penahanan ini berlangsung pada Kamis sore 24 Oktober 2024, menandai perkembangan signifikan dalam kasus yang telah bergulir sejak Maret 2024. Selain Sulkarnain, MA juga mengabulkan permohonan kasasi terhadap Syarif Maulana, staf ahli Sulkarnain, yang turut terlibat dalam kasus ini (Tempo.co, 25/10/2024).

Diketahui, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kendari menetapkan dua orang sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi di Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Kota Kendari. Kepala Kejari Kendari Ronald Bakara melalui Kasi Intel Aguslan saat ditemui di Kendari, Selasa malam, mengatakan bahwa dua tersangka tersebut masing-masing berinisial K (49) yang merupakan kepala Pasar Lapulu dan T (48) yang merupakan Kepala Pasar Baruga dari Februari 2023 - 09 Juli 2024). (Sultra.antaranews.com, 4/12/2024).

Karena jumlah kasus korupsi yang terus meningkat, maka pada Mei 2024 lalu Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari, Sulawesi tenggara (Sultra) berkomitmen mencegah korupsi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah ini. Komitmen anti rasuah tersebut tertuang dalam penandatanganan pakta integritas komitmen anti korupsi bagi kepala daerah, pejabat tinggi pratama dan penjabat administrator yang di lakukan Pj.Wali kota Kendari Muhammad Yusup bersama kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan Camat se kota Kendari yang di fasilitasi Inspektorat kota Kendari yang dilaksanakan di Aula Samaturu Kantor Balai Kota Kendari. (www.rri.co.id, 30/5/2024).

Sistem Kufur Jadi Penyebab Utama

Korupsi yang begitu melekat di tubuh lembaga pemerintahan Indonesia sesungguhnya di pengaruhi oleh beberapa faktor : Pertama, sekularisme. Sistem kehidupan hari ini yang sekuler telah menjadikan manusia hidup tidak berlandaskan pada agama. Mereka tidak memiliki kontrol internal untuk mencegah dirinya melakukan perbuatan dosa. Ini juga terjadi pada para penguasanya. Mereka membuang agama dari kehidupan bernegara dan menjadikan standar perbuatan mereka bukan halal haram, melainkan manfaat materi semata.

Kehidupan sekuler pun menghilangkan kontrol eksternal. Kehidupan yang individualistik menjadikan masyarakat fokus pada kehidupannya sendiri tanpa peduli pada kehidupan orang lain. Hubungan antarmanusia hanya sebatas materi. Inilah yang menjadikan korupsi berjemaah makin menggurita. Pelaku korupsi merasa lebih baik saling menutupi agar kepentingan aman terjaga daripada saling melaporkan.

Kedua, sistem politik demokrasi. Sistem ini berbiaya mahal sehingga akan menumbuhsuburkan politik transaksional. Bukan rahasia lagi bahwa seseorang yang mencalonkan dirinya untuk masuk parlemen akan membutuhkan banyak biaya. Lahirlah dari sini cukong politik, yakni orang-orang yang memberikan dana untuk pemenangan salah satu calon. Wajar saja jika banyak pejabat pada awal masa jabatannya sibuk mengembalikan uang milik sponsornya. Ia akan melakukan berbagai cara, termasuk mencari celah untuk korupsi dalam setiap programnya.

Terlebih, sistem politik demokrasi yang sekuler hanya akan menjaring para politisi yang bervisi bisnis. Mereka mencalonkan dirinya menggunakan hitung-hitungan materi. Walhasil, saat menjabat, mereka akan memosisikan dirinya sebagai pedagang yang sedang “berjualan” pemenuhan kebutuhan hidup pada rakyat dan “berjualan” kebijakan kepada para pengusaha. Semua itu semata untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.

Ketiga, sanksi bagi koruptor tidak menciptakan efek jera sebab lahir dari akal manusia yang lemah. Berdasarkan riset ICW, koruptor hanya dihukum rata-rata dua tahun oleh pengadilan. Bahkan seorang jaksa yang terbukti merugikan negara triliunan rupiah hanya dihukum dua tahun penjara, seperti Jaksa Pinangki. Belum lagi sel tahanan koruptor yang mewah, berbeda 180 derajat dengan sel tahanan rakyat biasa. Semua itu makin mengikis rasa keadilan di tengah rakyat.

Oleh karena itu, jangan pernah berharap dalam sistem demokrasi, korupsi akan mampu diberantas. Justru demokrasi yang menyebabkan tindak korupsi makin subur. Para pejabat bahu membahu melakukan korupsi, politik saling sandera menjadikan mereka saling menutupi aib agar tidak terbongkar.

Islam Membasmi Korupsi

Korupsi adalah persoalan yang sistemis maka pemberantasannya pun harus bersifat sistemis. Sistem politik demokrasi telah nyata gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih maka sangat layak untuk kaum muslim memperjuangkan sistem politik Islam sebab Islam memiliki sejumlah mekanisme agar negara bebas dari korupsi.

Dalam sistem Islam tidak akan ada politik berbiaya tinggi. Celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan tertutup sama sekali. Tidak seperti sistem demokrasi yang memang berbiaya tinggi sehingga mendorong perebutan jabatan dengan jalan kotor, yakni suap dan korupsi.

Selain tertanamnya ketakwaan individu, pemerintahan Islam akan mewujudkan para pejabat bersih. Ini karena mereka mendapatkan gaji tinggi, keharaman harta ghulûl, dan ketegasan sanksi hukum bagi pejabat yang terbukti korupsi. Rasul saw. bersabda, “Siapa saja yang telah kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuknya maka apa yang ia ambil selain itu adalah harta ghulûl (haram).” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).

Dalam pemerintahan Khilafah, salah satu contoh pemimpin terbaik adalah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau biasa menyita harta tidak wajar para wali atau amilnya. Beliau pun bersikap tegas kepada keluarganya sendiri. Ketika melihat unta milik Abdullah bin Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang gembalaan umum, beliau menyuruh Abdullah bin Umar menjual unta itu. Kemudian kelebihan dari modalnya dimasukkan ke kas negara. Khalifah Umar menilai, unta itu paling gemuk karena mendapat rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah. (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47). 

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi serta menyejahterakan rakyat, kecuali dengan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam institusi Khilafah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. 


Share this article via

34 Shares

0 Comment