| 183 Views
Gebrakan PPN Naik, Membuat Rakyat Semakin Menjerit

Oleh : Zaynab AL
Aktivis Dakwah
Mulai 1 Januari 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik menjadi 12%, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini difokuskan pada barang mewah dan disertai program afirmatif untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah. Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menjelaskan, bahwa kenaikan PPN ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan Negara tanpa membebani masyarakat umum. “Barang mewah adalah konsumsi yang dilakukan oleh mereka yang berkemampuan tinggi. Maka, kebijakan ini harus dibarengi dengan program afirmatif yang pro-rakyat” ujar Herman di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Selasa (24/12).
Bukan hanya dalam konteks barang saja kenaikan PPN 12% berlaku, pajak ini juga berpengaruh pada bidang pendidikan. Menyusul penetapan kenaikan PPN yang berlaku pada Januari 2025 mendatang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jasa pendidikan yang akan dikenai PPN 12% ialah jasa pendidikan yang berstandar internasional. Alasannya, sekolah internasional masuk kategori barang/jasa premium. "Pendidikan standar internasional yang berbayar mahal" katanya di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin, 16 Desember 2024.
Dari fakta yang disebutkan di atas pemerintah selalu mengadakan gebrakan-gebrakan atau perubahan baru di setiap moment tertentu. Namun mirisnya kebijakan yang diharapkan semakin memudahkan rakyat malah semakin mencekik rakyat.
Kenaikan PPN yang katanya hanya berdampak pada barang mewah dan ekslusif justru membuat kesenjangan sosial di Indonesia semakin terlihat. Sadarkah kalian bahwa ini semua adalah dampak dari sistem kapitalisme di mana semua sistem ekonomi dilakukan oleh pihak swasta bukan pemerintah. Para pemilik modal lah yang berkuasa dan diuntungkan dari kebijakan kenaikan PPN ini. Lalu apakah kenaikan ini hanya berdampak pada barang-barang mewah saja ?
Arif menyebut, kenaikan tarif PPN akan berdampak pada perekonomian secara luas, salah satunya di sektor pertanian. "PPN 12% ini akan berdampakk kepada sektor pertanian. Sedangkan secara ekonomi, dampaknya akan membuat GDP (PDB) riil turun 0,03 persen, ekspor akan menurun 0,5 persen, dan inflasi akan naik 1,3 persen" ujarnya dalam CNN Indonesia Business Summit di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Jumat (20/12).
Bahan pangan dan seluruh kebutuhan rumah tangga asalnya adalah dari pertanian dan perkebunan. Saat ini urgensi masyarakat adalah bahan pokok. Jika barang-barang sektor pertanian naik, maka akan berimbas pada kebutuhan pangan rakyat kecil, di mana barang pokok semakin mahal dan barang subsidi semakin jarang. Akibatnya rakyat menengah ke bawah akan makin sulit menjalani hidup di era kenaikan PPN 12% ini.
Kebijakan kenaikan PPN ini pun sangat bertolak belakang dengan UUHP nomor 7 tahun 2021. Diduga kenaikan PPN ini awalnya adalah inisiatif pemerintahan Jokowi yang baru dapat dilaksanakan saat ini. Dengan adanya kebijakan demikian makin terlihat rusaknya sistem kapitalisme, yang selalu menyusahkan dan membebankan rakyat demi kepentingan swasta atau pemilik modal. Rakyat dijadikan alasan untuk meningkatkan fasilitas umum dengan alibi menaikkan pajak. Pemerasan pajak yang tinggi kepada rakyat menandakan bahwa Negara telah gagal menyejahterakan rakyatnya.
Hal ini berbeda dengan sistem Daulah Islam. Keuangan Negara atau APBN dikelola oleh Baitul Maal yang pendapatannya bukan dari pajak, melainkan dari hasil sumber daya alam, ghanimah, jizyah, dan lain lain. Apabila Baitul Maal kosong atau kekurangan dana, maka dengan terpaksa diterapkan pajak, namun hanya kepada orang-orang kaya saja dan sifatnya hanya sementara.
Dalam sistem Daulah Islam, pembuatan fasilitas umum menggunakan uang Negara, karena fasilitas umum adalah hak bagi rakyat. Kekayaan alam dikelola Negara bukan swasta, serta kebijakan Negara diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunah, bukan berdasarkan kepentingan segelintir golongan.
Wallahu A'lam Bishawab