| 189 Views
Gaza Darurat: Anak-Anak Terancam Kelaparan di Tengah Blokade
Gaza dalam keadaan darurat! Ribuan keluarga terpaksa memilih antara kelaparan atau ancaman bom. Ini adalah seruan terakhir bagi dunia untuk bertindak.

Seorang anak di Gaza menangis kelaparan di tengah kehancuran—tubuh kecilnya menggambarkan krisis kemanusiaan yang tak seharusnya dialami siapa pun di dunia ini.
CendekiaPos — Gaza kembali menjadi saksi bisu dari tragedi kemanusiaan yang mengguncang nurani dunia. Di tengah gempuran tanpa henti dan blokade yang mencekik, ribuan keluarga kini dihadapkan pada pilihan yang tak masuk akal: mati perlahan karena kelaparan, atau mempertaruhkan nyawa menembus zona perang demi secercah harapan hidup.
UNICEF, badan dunia yang menangani perlindungan anak-anak, menyampaikan pernyataan yang menggugah dunia. “Ini bukan pilihan. Ini jebakan mematikan,” tegas James Elder, juru bicara UNICEF, menggambarkan situasi di Gaza sebagai bentuk keputusasaan yang paling ekstrem.
Menurut Elder, rencana Israel untuk membuka “koridor kemanusiaan” ke wilayah selatan Gaza bukanlah solusi, melainkan dilema maut. “Orang-orang harus memutuskan: mati karena kelaparan di utara, atau dibom saat mencoba melarikan diri ke selatan,” katanya getir.
Blokade ketat yang berlangsung selama dua bulan terakhir telah memutus hampir seluruh akses bantuan ke Gaza. Lebih dari 3.000 truk bantuan tertahan, sementara hanya segelintir — sekitar 60 truk per hari — yang diizinkan masuk dengan syarat yang nyaris mustahil. Padahal, saat masa gencatan senjata, sekitar 600 truk bisa masuk setiap hari membawa makanan, air, dan obat-obatan.
Di balik statistik ini, ada tangisan nyata. Tangisan anak-anak yang kelaparan, ibu-ibu yang putus asa, dan keluarga yang menyaksikan orang-orang yang mereka cintai perlahan menghilang dalam penderitaan yang tak terdengar oleh dunia. Rumah sakit kini menjadi bangunan kosong tanpa daya — tanpa listrik, tanpa obat, tanpa harapan. Bayi-bayi prematur dibiarkan tanpa inkubator. Air bersih menjadi kemewahan langka. Hidup menjadi undian maut setiap harinya.
“Kita tidak sedang bicara soal logistik. Kita bicara soal nyawa,” tegas Elder. Seruan ini bukan hanya peringatan, tetapi panggilan terakhir sebelum semuanya terlambat.
UNICEF dan berbagai organisasi kemanusiaan mendesak dunia internasional untuk segera bertindak. “Ini adalah seruan terakhir dari garis depan. Jangan biarkan sejarah mencatat kita sebagai generasi yang menonton dalam diam,” pungkas Elder.
Gaza bukan sekadar konflik. Ini adalah cermin dari kemanusiaan kita. Pertanyaannya kini: akankah kita hanya menjadi penonton bisu, atau akan berdiri bersama suara-suara yang nyaris padam dari Tanah Gaza?