| 57 Views

Gaji DPR Super Mewah Tetapi Masyarakat Hanya Dapat Ampasnya

Oleh : Ummu Ainul Mardhiah
Aktivis Dakwah Idiologis

Baru - baru ini masyarakat telah digemparkan oleh Gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi perbincangan publik setelah anggota DPR RI TB Hasanuddin menyebut gaji mereka mencapai Rp100 juta per bulan atau sekitar Rp3 juta per hari. Bahkan, terdapat isu kenaikan gaji anggota DPR di tengah sulitnya ekonomi rakyat. Namun, kabar itu dibantah oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia menegaskan tidak ada kenaikan gaji anggota DPR. Puan juga menyebut anggota DPR mendapat uang kompensasi rumah karena tidak lagi mendapat rumah jabatan atau rumah dinas. Bersumber berita dari Jakarta, Beritasatu.com

Bisa kita lihat di tengah sulitnya ekonomi rakyat saat ini  yang terus mencekik karena berbagai kebutuhan pokok naik, gaji para wakil rakyat yang mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan tersebut telah melukai perasaan masyarakat yang harus banting tulang demi bertahan hidup. Anggota DPR mendapat gaji fantastis, tetapi kinerja mereka begitu  minimalis, bahkan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat saat ini.

Juga begitu banyak UU yang disahkan di meja DPR tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat, semisal UU Perppu Cipta Kerja, UU KPK, UU Minerba, UU Kelistrikan, dan sebagainya. Tidak jarang mereka mengesahkan UU tanpa melibatkan partisipasi publik, seperti RUU TNI yang sudah menjadi UU dan RUU Kementerian yang dirapatkan secara kilat. Kedua produk hukum tersebut mendapat kritik keras dari masyarakat, tetapi para wakil rakyat tetap saja melegalisasinya menjadi UU. Jadi, wakil rakyat itu mewakili siapa jika banyak UU yang disahkan justru ditentang rakyat?

Tak cukup sampai di sini bahwasannya Masik begitu banyak kekecewaan masyarakat terhadap DPR saat ini yang dimana rakyat telah mengalami kemiskinan gelobal secara merata akibat ulah para pemimpin saat ini yang tidak berpihak kepada masyarakat pada umumnya.

Wajar jika berbagai pihak memberikan kritik kepada DPR, sebab gaji dan tunjangan sebanyak itu benar-benar melukai hati rakyat. Gaji dan fasilitas begitu tinggi, tapi kinerja tidak sesuai ekspektasi. Para wakil rakyat itu mestinya malu kepada rakyat yang mereka wakili sebab apa yang mereka nikmati saat ini sejatinya berasal dari pajak rakyat. Seharusnya mereka benar-benar mewakili suara rakyat. Namun, fakta yang terjadi sebaliknya. 

Ketika rakyat menolak UU Cipta Kerja, mereka malah mengesahkannya. Ketika rakyat ingin harga bahan pokok turun, mereka tidak sepenuh hati menyuarakannya kepada penguasa. Kalaupun ada yang berpihak pada kepentingan rakyat, jumlahnya minoritas. Pantaslah bila banyak sindiran dan kritik tajam untuk para anggota dewan.

Mereka wakil rakyat, tapi faktanya hari ini yang bisa kita lihat bersama tidak merakyat. Kekecewaan publik barangkali terwakili dengan sindiran berikut, “DPR telah melaksanakan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Rakyat ingin punya rumah dan hidup mewah, sudah terwakili mereka. Rakyat ingin dihormati, sudah terwakili mereka. Rakyat ingin tidur nyenyak dan makan enak, sudah terwakili mereka. Rakyat ingin pelesiran ke luar negeri, juga sudah terwakili mereka.

Wakil rakyat dimanja dengan subsidi mewah dari negara, sedangkan rakyat menderita dan  dipaksa mandiri oleh negaranya sendiri. Kesenjangan ini sangat lumrah di dalam negara yang mempraktikkan ideologi sekuler kapitalisme. Kapitalisme telah melahirkan kesenjangan  sosial  dan ketimpangan ekonomi. Mereka yang bermodal dan berpotensi menguasai sumber daya bisa memperkaya diri atas segala kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

Sementara itu, rakyat terus-menerus dikejar pajak yang menjadi sumber  terbesar pendapatan negara. Bahkan tidak ada tunjangan apa pun yang diberikan oleh negara untuk rakyat. Bahkan beras, listrik, telepon, dan pekerjaan harus rakyat yang tanggung sendiri. Kalau pun ada beberapa bantuan sosial, itu hanya dirasakan oleh segelintir rakyat namun tidak merata. Sungguh berbanding terbalik dengan tunjangan anggota DPR. Ini sama halnya rakyat menghidupi berbagai kemewahan para wakilnya, tetapi orang yang diwakili justru hanya mendapat ampasnya, yakni kesulitan ekonomi.

Dalam sistem sekuler kapitalisme, sungguh sulit menemukan sosok wakil rakyat atau penguasa yang benar-benar peduli pada rakyat. Kebanyakan para pejabat itu hanya cari muka kepada rakyat saat kontestasi pemilu. Setelah terpilih, rakyat dilupakan dan diabaikan bagai kacang lupa kulitnya. Sistem sekuler kapitalisme yang menjauhkan Islam dari kehidupan menjadikan para pejabat terlena dengan berbagai kenikmatan dunia yang ditawarkan dari kebobrokan sistem ini.

Anggota DPR adalah wakil rakyat, tetapi tidak mewakili suara rakyat. Kebanyakan para wakil rakyat itu bekerja sama dengan pemerintah membuat UU yang menguntungkan dan mengamankan kepentingan mereka sendiri. Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi wadah aspirasi masyarakat justru menjadi wadah bagi kepentingan partai, penguasa, dan kroninya. 

Di sisi lain, modal yang harus dikeluarkan untuk menjadi wakil rakyat tidaklah sedikit. Berkaca dari pemilu sebelumnya, biaya kampanye untuk seorang calon anggota legislatif bisa mencapai miliaran rupiah. Hal ini sudah lumrah terjadi karena sistem demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berbiaya mahal sehingga para anggota dewan akan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya untuk mengembalikan modal kampanye sekaligus mencari keuntungan. Ini tentu berbeda secara diametral dalam sistem pemerintahan Islam.

Berbeda halnya dengan Wakil Rakyat
Dalam struktur pemerintahan Islam atau Khilafah terdapat struktur bernama majelis umat yang terdiri dari orang - orang yang mewakili suara (aspirasi) kaum muslim agar menjadi pertimbangan khalifah dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan-urusan kaum muslim. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) terhadap para pejabat.

Orang nonmuslim yang menjadi warga negara Khilafah boleh menjadi anggota majelis umat. Hal itu dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, buruknya penerapan Islam terhadap mereka, atau dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan bagi mereka, dan yang semisalnya.

Hanya saja, orang nonmuslim tidak boleh menyampaikan pendapat dalam masalah perundang-undangan karena undang-undang yang islami hanya bisa digali dari akidah Islam. Ini karena ia merupakan hukum syarak yang bersifat operasional dan digali dari dalil-dalilnya yang rinci. Di samping itu karna  merupakan hukum yang berfungsi untuk memecahkan setiap masalah manusia sesuai dengan pandangan yang telah ditentukan oleh akidah Islam. Padahal, nonmuslim jelas memeluk akidah yang bertentangan dengan akidah Islam serta pandangan hidup yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam sehingga pendapatnya dalam masalah perundang-undangan tidak bisa diambil (Syekh Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam hlm. 498).

Selain itu, keberadaan majelis umat jelas berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem pemerintahan demokrasi sekuler. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat bertugas membuat dan mengesahkan UU. Sedangkan majelis umat, meski mereka mewakili suara umat, tugasnya melakukan koreksi atas kebijakan penguasa, bukan membuat UU lalu melegalisasinya. Adapun fungsi legislasi dalam sistem Khilafah bersifat mengadopsi hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, bukan membuat hukum baru yang berasal dari pemikiran manusia.

Adapun pada aspek gaji, para penguasa dan pejabat diberi santunan sesuai kebutuhan hidup keluarga pada umumnya, tidak bermewah-mewah dan berfoya-foya memanfaatkan harta rakyat dan negara untuk kepentingan pribadi. Mereka berfokus pada perannya dalam melakukan riayatusy syu‘unil ummah (mengurusi urusan umat). Ini karena mereka memahami bahwa jabatan, kekuasaan, dan harta akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Sistem Islam juga menghilangkan Kesenjangan, Kesejahteraan akan berjalan seiring dengan penerapan paradigma tentang rakyat dan penguasa. Islam memandang rakyat adalah pihak yang wajib dilayani dan dipenuhi kebutuhannya. Sedangkan penguasa bertindak sebagai pelayan, pengelola, dan penjamin kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Dalam perspektif Islam, distribusi kekayaan yang adil merupakan kunci untuk mengatasi kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi. Untuk menghilangkan kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan secara adil agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Allah Swt. berfirman, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al–Hasyr: 7).

Islam telah menjadikan harta yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat sebagai hak milik umum bagi seluruh kaum muslim. Seseorang tidak boleh memilikinya, mempertahankannya untuk kepentingan pribadi, atau yang lain. Islam telah menjadikan negara sebagai penanggung jawab terhadap terpenuhinya kekayaan untuk rakyat, baik berupa harta maupun jasa (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An–Nizham al- Iqtishadiy fi al-Islam, hlm. 563).

Pemanfaatan harta milik umum dan negara serta pengelolaan zakat akan disalurkan dan diberikan pada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syariat Islam. Adapun terkait kebutuhan primer seputar sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, negara harus menjamin kemudahan dalam pemenuhannya, semisal akses sandang, pangan, dan papan yang mudah dan murah. Dalam aspek pendidikan dan kesehatan, negara memberikannya secara gratis kepada seluruh rakyat. Pembiayaan layanan pendidikan dan kesehatan dapat diambil dari pemasukan baitulmal yang bersumber dari pengelolaan harta milik umum semisal barang tambang, SDA, dll.

Dengan begitu, keadilan dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Beban rakyat juga akan berkurang tatkala kebutuhan asasi mereka terpenuhi dan terlayani dengan baik. Sistem Islam kafah akan menciptakan pejabat yang amanah serta wakil rakyat yang menjalankan tugasnya dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Wallahu'alam bishawab


Share this article via

19 Shares

0 Comment