| 76 Views
Efisiensi Anggaran Bikin Layanan Publik Jadi Kacau!

Oleh : Kiki Puspita
Dilangsir dari metrotvnews.com - Jakarta : Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyatakan akan ada pemangkasan anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto. Pemangkasan anggaran yang dilakukan secara sembrono dan serampangan akan beresiko besar terhadap kinerja kementrian dan lembaga negara.
Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan efisiensi anggaran dalam tiga tahap dengan total penghematan mencapai Rp.750 triliun. Saat ini tahap pertama telah menghemat Rp.300 triliun dan tahap kedua Rp.308 triliun. Namun, faktanya di lapangan dengan pemangkasan anggaran ini mala menimbulkan banyak kekacauan. Sejumlah menteri dan kepala badan mengungkapkan anggaran Rp.306,69 triliun di kabinet Presiden Prabowo Subianto. Salah satu yang terdampak adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Pembangunan infrastruktur akan terganggu dengan Anggaran PU yang dipotong yakni sampai Rp.81 triliun.
Pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah tersebut akan mengakibatkan berhentinya proyek-proyek vital. '' jalan-jalan yang harusnya diperbaiki akan dibiarkan rusak. Proyek pembangunan bendungan yang penting bagi masyarakat disektor petani akan ditunda, alhasil masyarakatlah juga yang menjadi korbannya.
Dengan pemangkasan anggaran ini akan menyebabkan gelombang PKH di berbagai lembaga. Pengembangan UMKM dan industri rumah tangga juga akan terancam. Program unggulan MBG yang di buat pemerintah juga mengalami pemberhentian dibeberapa daerah dengan alasan yang tidak jelas sampai sekarang.
Dilangsir dari JAKARTA, KOMPAS.TV - Mulai Senin(17/2/2025), ribuan siswa di Sumenep, Jawa Timur, tidak lagi dapat Makan Bergizi Gratis karena program dihentikan. Pemangkasan anggaran ini justru menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengelolaan anggaran. Program MBG yang di gadang-gadang mampu mencegah suting pada anak sejatinya merupakan program yang populis, seolah-olah berpihak kepada rakyatnya, namun sejatinya mala tambah menzalimi rakyatnya. Inilah buah dari penerapan sistem kapitalis.
Berbeda pengaturan anggaran dalam Sistem Islam yang mengadopsi hukum-hukum syariat yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN. Negara dalam Sistem Islam akan menetapkan rincian APBN, berupa besaran anggaran untuk masing-masing pos baik itu pemasukan maupun pengeluaran.pungutan dan pembelanjaan harus sesuai dengan hukum dalam syariat Islam.lembaga yang bertugas untuk menerima pemasukan dan membelanjakan harta kaum muslim akan ditempatkan di Baitul mal. Pembangunan sarana dan pelayanan masyarakat seperti jalan raya, masjid, rumah sakit dan sekolah akan terealisasi kepada masyarakat.
Jika dana baitul mal tidak mencukupi, sedangkan ada kebutuhan yang bersifat darurat, negara mengusahakan pinjaman non ribawi secepatnya dari warga yang kaya, kemudian pinjaman tersebut dibayar dari hasil pemungutan dharabah (pajak). Pajak hanya dipungut sementara ketika kas baitul mal kosong dan ada kebutuhan darurat. Jika kebutuhan dana sudah terpenuhi, pemungutan pajak dihentikan. Pajak hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya sehingga tidak membebani rakyat.
Dengan demikian, anggaran di baitul mal tidak hanya efisien, tetapi juga tepat sasaran dan jauh dari kesalahan pengelolaan karena baik pendapatan maupun pengeluaran baitul mal berdasarkan pada ketentuan hukum syara.
Selain itu, Khilafah tidak akan membebani APBN dengan utang luar negeri karena pada umumnya utang luar negeri ribawi, padahal Allah Taala telah mengharamkan riba dalam QS Al-Baqarah ayat 275, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Perihal ini, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah di dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah menyebutkan pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional tidak dibolehkan oleh hukum syara. Sebabnya, pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba diharamkan oleh hukum Syara, baik berasal dari seseorang maupun dari suatu negara. Sedangkan persyaratan yang menyertai pinjaman asing itu sama saja dengan menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor tersebut berkuasa atas kaum muslim.
Akibatnya, keinginan dan segala keperluan kaum muslim tergadai pada keinginan negara-negara dan lembaga-lembaga donor. Hal ini tidak diperbolehkan secara syar’i. Utang luar negeri adalah bencana yang sangat berbahaya atas negeri-negeri Islam dan menjadi penyebab orang-orang kafir menguasai negeri-negeri kaum muslim. Selama ada beban utang luar negeri, umat selalu berada dalam kondisi terpuruk. Dengan demikian, penguasa negara Islam tidak boleh menggunakan utang luar negeri sebagai pos pendapatan untuk menutupi anggaran belanja.
Utang luar negeri juga berbahaya bagi kedaulatan negara karena akan memberi jalan bagi negara lain untuk menguasai kaum muslim, padahal Allah Taala telah melarangnya dalam QS An-Nisa’ ayat 141, “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” Dengan demikian, anggaran tidak tersedot untuk membayar utang dan bunganya. Rakyat juga tidak terbebani pajak yang “mencekik”.
Penguasa, pejabat, dan pegawai dalam Khilafah dipilih dari orang-orang yang bertakwa, amanah, takut “menyentuh” harta milik rakyat, dan bekerja secara profesional. Ini dalam rangka mencegah terjadinya kebocoran anggaran.
Allah Taala berfirman di dalam QS An-Nisa’ ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Juga di dalam QS Al-Maidah ayat 8, “Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.''
Wallahualam bissawab