| 136 Views
Efektivitas Perda dalam Memberantas LGBT
Oleh : PAnca Andini
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat (Sumbar) sedang mempertimbangkan kemungkinan merumuskan peraturan daerah (perda) untuk menangani masalah sosial, termasuk isu LGBT. Menurut Wakil Ketua DPRD Sumbar, Nanda Satria, saat ini DPRD Sumbar sedang mengkaji pembentukan perda terkait LGBT. (Republika.co.id, 4 Januari 2025)
Pembentukan perda untuk memberantas penyakit sosial, khususnya LGBT, diharapkan menjadi langkah nyata dalam mempertahankan nilai-nilai luhur Minangkabau. Dengan perda ini, diharapkan lingkungan yang lebih kondusif untuk perkembangan generasi muda sesuai dengan nilai agama dan adat dapat tercipta. Perda ini diharapkan menjadi benteng terakhir bagi masyarakat Minangkabau dalam menghadapi modernisasi yang mengancam nilai-nilai tradisional.
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) sering dianggap sebagai produk sistem sekuler yang dominan dalam kehidupan sosial saat ini. Dalam sistem sekuler, hak asasi manusia (HAM) menjadi landasan utama yang menjamin kebebasan individu, termasuk dalam orientasi seksual. Ideologi sekuler ini menekankan kebebasan pribadi, yang mendorong individu untuk mengeksplorasi identitas dan kecenderungan mereka sendiri tanpa memperhitungkan norma moral atau agama.
Dengan memberikan kebebasan yang luas, sistem sekuler secara tidak langsung memfasilitasi perilaku yang dianggap menyimpang oleh banyak ajaran agama dan budaya. Oleh karena itu, kemunculan dan normalisasi LGBT sering dilihat sebagai akibat dari sistem yang mengutamakan kebebasan tanpa batas, yang sering bertentangan dengan nilai-nilai moral dan sosial konservatif.
Niat untuk menciptakan perda yang bertujuan memberantas LGBT tentu baik dan layak dihargai. Namun, efektivitasnya dalam jangka panjang diragukan. Beberapa perda berbasis syariah telah diterapkan di berbagai daerah, tetapi sering mendapat tantangan dari berbagai pihak, bahkan beberapa dibatalkan oleh pemerintah pusat karena dianggap bertentangan dengan kebijakan nasional.
Dalam konteks sistem demokrasi sekuler saat ini, hukum yang digunakan bukanlah syariat Islam, melainkan hak asasi manusia (HAM), yang memberikan kebebasan individu dalam menentukan pilihan hidup, termasuk orientasi seksual. Inilah masalahnya; dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk penerapan syariat Islam secara menyeluruh, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dengan prinsip-prinsip ilahi. Sistem sekuler ini, dengan dasar yang tidak memadai, tidak mampu memberikan solusi menyeluruh terhadap masalah mendasar umat manusia.
Sistem yang hanya mengandalkan akal manusia yang terbatas dan sering kali penuh kepentingan ini akhirnya gagal memberikan arah yang jelas dan adil bagi kehidupan masyarakat. LGBT hanya dapat diberantas secara tuntas jika Islam diterapkan secara kaffah, yaitu secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam pandangan Islam, terdapat hukum-hukum yang jelas dan tegas terkait dengan pergaulan dan sistem sosial yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan serta orientasi seksual mereka.
Syariat Islam memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana individu harus berinteraksi, baik dalam konteks pernikahan, keluarga, maupun hubungan sosial lainnya. Hukum Islam melarang perilaku yang menyimpang dari fitrah manusia, seperti LGBT, dan menggantikannya dengan aturan yang mendukung kesejahteraan dan keharmonisan umat manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Dengan penerapan Islam secara kaffah dalam masyarakat, setiap bentuk penyimpangan seksual akan mendapat pengawasan dan pembinaan yang efektif, menciptakan masyarakat yang lebih terjaga dari maksiat dan sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan oleh Allah. Penerapan Islam secara kaffah akan menciptakan individu yang lebih sehat secara fisik, mental, dan spiritual, jauh dari kerusakan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang.