| 176 Views

Demokrasi, Lahan Basah Politik Dinasti

Oleh : Ayu Ratna Sari, S.Sos

Belum lama ini, masyarakat Indonesia kembali dibuat geleng-geleng kepala oleh lembaga peradilan di negeri ini. Setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan keputusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang terkesan memaksakan kehendak dalam memuluskan manuver politik putra sulung Presiden Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden, kini giliran Mahkamah Agung (MA) yang merubah PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) nomor 9 Tahun 2020 tentang batasan usia calon kepala daerah. 
Seperti yang diketahui, bahwa sebelum ditetapkan putusan MA nomor 23 P/HUM/2024, bunyi pasal 4 ayat (1) huruf d: "berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon."

Namun, setelah dikeluarkannya putusan tersebut berubah menjadi "berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih". (KumparanNEWS, 30 Mei 2024)

Dengan adanya putusan tersebut, syarat minimal usia hanya berlaku saat mereka dilantik, bukan saat mendaftar. Adanya revisi terhadap PKPU tersebut bukan tanpa sebab. Kentalnya aroma politik dinasti diduga kuat erat kaitannya dengan rencana putra bungsu orang nomor satu di Indonesia yaitu Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilgub DKI Jakarta yang sebelumnya terhalang oleh batas usia pencalonan, di mana usianya belum genap 30 tahun.

Konsekuensi Logis Penerapan Demokrasi

Menjadi pelayan umat bukanlah orientasi bagi para penguasa dalam sistem demokrasi. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana meraih manfaat sebanyak mungkin bagi pribadi, keluarga dan koleganya. Kekuasaan dipandang sebagai lahan bisnis yang mendatangkan banyak keuntungan materi. Ketika kekuasaan tidak bisa dilanjutkan oleh dirinya (penguasa) sebab terhalang oleh aturan konstitusi, maka skema paling rasional adalah menjadikan orang-orang terdekatnya untuk melanjutkan kekuasan tersebut dalam posisi-posisi tertentu yang diinginkan. Maka tidaklah heran jika hari ini banyak sekali bermunculan orang yang berlomba-lomba untuk menjadi penguasa, padahal ia tidak memiliki kapabilitas untuk memimpin rakyat yang menjadi amanahnya dan hanya haus akan ambisi kekuasaan.

Dan tidak heran pula ketika para penguasa tersebut dengan mudahnya merubah hukum yang ada. Sebab dalam sistem demokrasi yang merupakan anak kandung ideologi kapitalisme sekuler, sah-sah saja ketika seseorang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, termasuk merubah peraturan yang sudah ada selama ia memiliki uang dan kekuasaan. Asas manfaat menjadi standar perbuatan penguasa dalam sistem demokrasi. Tidak peduli halal dan haram yang penting tujuan tercapai. 
Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah slogan pemikat agar rakyat percaya bahwa memang rakyatlah yang menjadi fokus perhatian para pemangku kebijakan. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Justru kemaslahatan rakyat di marginalisasi dan lebih fokus pada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Maka seyogyanya rakyat jangan pernah berharap banyak kepada sistem hipokrit semacam demokrasi. Sebab sejatinya demokrasi tidak akan pernah berpihak pada rakyat, justru hanya akan pro kepada segelintir orang yang berkuasa.

Pengurus Sejati Urusan Umat

Berbeda jauh dengan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam  yang menjadikan kekuasaannya jauh dari visi meraih keuntungan, melainkan sebuah amanah yang amat berat pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Penguasa dalam sistem Islam berupaya menjalankan _shalahiyyah_ -nya sebagai pengurus urusan umat sesuai dengan tuntunan syariat. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Rasa takut kepada Allah yang menghujam kuat di dalam hati membuat penguasa dalam sistem Islam berusaha melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pengurus urusan umat dengan sebaik-baiknya sesuai aturan Islam. Ia akan senantiasa berhati-hati dalam bertindak, sebab ia menyadari betul bahwa kakinya berada di dua posisi, kaki kanan berada di surga dan kaki kiri berada di neraka. Jika ia berlaku adil dan amanah, maka tempat yang layak baginya adalah surga. Namun sebaliknya, jika ia melalaikan kewajibannya sebagai penguasa dan justru berlaku dzalim terhadap rakyat yang dipimpinnya, maka jelaslah neraka tempat kembalinya.

"Tidaklah seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah akan mengharamkan dirinya masuk ke dalam surga." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ma'qil bin Yasar ra.)

Dengan ketaqwaan individu yang lahir dari sistem yang menerapkan syariat kaffah, maka tercetaklah penguasa yang akan menjadikan kekuasaannya untuk kemaslahatan Islam serta kaum muslim dan tidak akan melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya karena para penguasa takut terhadap azab Allah Swt. bagi siapa saja yang mengkhianati amanah kepemimpinan. 

Selain itu, dalam Islam usia bukanlah penentu seseorang bisa menjadi penguasa atau tidak, dalam hal ini kepala daerah (Wali setara gubernur dan Amil setara walikota). Namun yang menjadi titik kritis adalah tujuh poin persyaratan harus terpenuhi, yakni Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu (memegang amanah kepemimpinan).

Maka, meskipun semisal calon wali atau amil itu usianya masih 20 tahun, itu diperbolehkan asalkan tujuh syariat tadi terpenuhi. Tidak masalah pula ketika seorang ayah yang berkedudukan sebagai Khalifah kemudian mengangkat anaknya untuk menjadi Wali atau Amil, dengan catatan anak tersebut memenuhi tujuh syarat sebagaimana yang telah disebutkan.

WaAllahua'lam bishshawab


Share this article via

39 Shares

0 Comment