| 224 Views
Darurat Banjir Jabodetabek

Oleh: Rizka Amalia
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Banjir bandang kembali melanda Jabodetabek pada awal Ramadhan lalu, yaitu bertepatan pada Ahad hingga Kamis 2 sampai 6 Maret 2025. Banjir bandang mengakibatkan tenggelamnya permukiman, jalan-jalan dan fasilitas publik seperti sekolah, masjid, pusat perbelanjaan dan lain sebagainya. Jakarta dan Bekasi menjadi wilayah yang terdampak parah.
Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta menunjukkan bahwa banjir di Jakarta merendam 122 RT (Bisnis.com, 5/3/2025). Adapun di Bekasi, terdapat 20 titik banjir yang tersebar di tujuh kecamatan. Ketinggian air ada yang mencapai tiga meter (news.detik.com, 4/3/2025).
Berbeda dengan Jakarta yang memiliki sistem drainase yang lebih modern, di Bekasi banyak saluran air yang sudah lama tidak dikeruk, sehingga menghambat aliran air dan memperparah genangan. Ditambah dengan tanggap darurat yang kurang sigap, banyak warga yang terdampak tanpa bantuan yang memadai. Jika banjir hanya terjadi sekali-sekali, mungkin itu masalah teknis belaka. Namun, jika banjir terus berulang dan semakin parah setiap tahunnya, ini jelas masalah sistemik.
Menurut Menteri Sosial Saifullah Yusuf, korban banjir di wilayah Jakarta, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bogor mencapai 28.000 jiwa. Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi menaksir kerugian ekonomi akibat banjir mencapai lebih dari Rp5 triliun.
Beberapa pihak menganalisis penyebab banjir besar Jabodetabek. Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta Isnawa Adji menyampaikan, banjir di Jakarta disebabkan intensitas hujan yang tinggi sehingga Kali Ciliwung meluap. Namun, jika masalahnya tata ruang yang diabaikan, kemiskinan yang memaksa warga tinggal di bantaran sungai, keserakahan yang menyebabkan hutan gundul di hulu, anggaran tidak fleksibel untuk menangani bencana, serta pejabat yang ogah mengawasi infrastruktur, maka ini sudah masuk ke ranah sistem-non teknis.
Menurut KP2C, penyebab utama banjir berulang Jabodetabek adalah perubahan tata guna lahan di hulu sungai. Telah terjadi pembangunan properti dan pusat wisata yang masif di hulu-hulu sungai seperti Puncak dan Sentul, khususnya di Babakan Madang. Dahulu ketika hujan, 70% air hujan meresap ke tanah, tetapi sekarang hanya 30% yang meresap, sisanya mengalir ke hilir. Selain itu, terjadi pendangkalan dan penyempitan sungai sehingga air mudah meluap. Pengerukan Sungai Cileungsi terakhir dilakukan pada 1971. Banjir lokal terjadi karena orang buang sampah sembarangan. Banjir kolosal terjadi karena orang kasih izini nvestasi sembarangan.
Namun, akar masalahnya adalah kebijakan pembangunan kapitalistik yang telah mengabaikan lingkungan dan dampaknya pada masyarakat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan, kerusakan akibat alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor diperkirakan telah mencapai 65%. Ini artinya sudah lebih dari separuh kawasan Puncak yang telah mengalami kerusakan serius.
Atas nama pertumbuhan ekonomi, para pengusaha melakukan alih fungsi hutan menjadi permukiman dan tempat wisata. Ini tidak lepas dari karakter pejabat yang kapitalistik, yaitu mencari keuntungan pribadi dari jabatannya dan abai terhadap rakyat yang seharusnya ia lindungi. Penguasa kapitalistik merupakan buah dari penerapan sistem sekuler kapitalistik. Lahirlah penguasa khas kapitalisme yang tidak berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), tetapi malah menjadi “pebisnis” yang sibuk memperkaya diri sendiri.
Padahal, penyelesaian banjir dalam Islam dilakukan secara sistemis, yaitu dengan menerapkan sistem Islam kafah. Hal itu berawal dari visi negara sebagai pengelola bumi Allah sehingga tidak akan pernah membuat aturan dan kebijakan yang merusak bumi. Ini sebagaimana firman Allah Taala, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi'” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Juga firman-Nya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (QS al-A’raf [7]: 56).
Ketika saat ini terjadi bencana yang demikian hebatnya, patut disadari, itu merupakan kerusakan yang disebabkan manusia tidak mau menjalankan syariat Allah Taala, sebagaimana firman-Nya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar-Rum [30]: 41).
Negara Islam akan menyejahterakan penduduknya dengan mencukupi kebutuhan perumahan sehingga tidak ada lagi orang-orang yang tinggal di pinggiran sungai. Negara juga akan mencetak para pejabat yang amanah sehingga tidak akan memperjualbelikan izin pembangunan yang merusak lingkungan.
Negara pun akan melakukan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana cara memelihara lingkungan, menggunakan alam dengan baik dan cara penanggulangan bencana jika memang banjir tetap datang. Itulah yang terjadi di negara Islam (Khilafah Islam), sudah terbukti mampu mengatasi berbagai bencana sepanjang masa kekuasaannya. Misalnya, tata kota pada masa Abbasiyah di Bagdad dan Utsmaniyah di Turki telah menunjukkan kemampuan Khilafah dalam mengatasi bencana, termasuk banjir.