| 33 Views
Cinta Berujung Tragis, Potret Buram Pergaulan Ala Liberalis
Oleh: Nuril Ma’rifatur Rohmah
Muslimah Peduli Generasi
Baru-baru ini ramai di media sosial kasus mutilasi yang dilakukan oleh seorang pemuda terhadap kekasihnya sendiri, sehingga menggemparkan banyak masyarakat. Kejadian tragis ini tidak hanya menunjukkan hilangnya rasa kemanusian, melainkan juga hilangnya kontrol emosi dan melemahnya nilai moral kehidupan bersosial. Selain itu, tidak hanya menimbulkan duka bagi keluarga korban, tetapi juga menimbulkan pertanyaan. Apa penyebab seseorang itu tega melakukan tindak kriminal yang sedemikian rupa kepada orang terdekatnya?
Alvi Maulana tega menghabisi nyawa kekasihnya sendiri, lalu memotong-motong tubuh korban. Sebagian tubuh korban dibuang dan sebagian lagi disimpan di kosan korban. Keduanya diduga telah berpacaran selama 5 tahun dan telah melakukan aktifitas kehidupan layaknya suami istri. Pelaku Alvi mulai merasa kewalahan terhadap tuntutan gaya hidup korban, sehingga tersangka menusuk leher pacarnya dengan pisau yang mengakibatkan korban tewas. Setelah itu pelaku memutilasi tubuh korban hingga ratusan potongan dan membuang jasad korban ke beberapa wilayah. (detiknews.com 8/9/25)
Kasus tragis yang dilakukan oleh Alvi terhadap pacarnya merupakan perbuatan yang sangat keji. Pembunuhan mutilasi ini dikategorikan sebagai tindak pidana paling berat dan pelaku diancam hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.
Pacaran hingga kumpul kebo ini menjadi tren yang sangat berbahaya, dan marak di kalangan anak remaja saat ini. Terjadinya mutilasi ini diakibatkan karena tidak adanya kontrol diri, hilangnya rasa kasih sayang dan juga nilai kemanusiaan. Hubungan yang seharusnya dilandasi dengan kasih sayang justru menjadi kekejaman tragis.
Ini akibat dari mereka menormalisasi kumpul kebo, dan melakukan aktifitas hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Saling berbagi peran rumah tangga dan kemudian berani menyebarluaskannya di media sosial, seolah-olah hal tersebut sudah menjadi yang biasa. Padahal faktanya, perbuatan keji tersebut merupakan sebuah pemahaman yang salah, yakni menyingkirkan agama dalam kehidupan.
Saat cinta, marah atau bahkan kecewa tidak dilandaskan terhadap aturan Allah, maka muncul tindakan-tindakan kriminal yang menghilangkan akal sehat dan sifat kemanusiaan. Inilah dampak dari penerapan sistem sekuler-liberal. Pacaran dianggap kebutuhan dan hal yang wajar, bahkan bebas melakukan apapun tanpa menilai dari sisi halal-haram.
Ajaran Islam dianggap kaku dan tidak relevan, sehingga perzinahan sering kali dibungkus dengan bahasa modern seperti cohabitation, live in, atau relationship goals dan lain sebagainya. Hal ini merupakan tren toxic yang dapat menjerumuskan anak-anak muda pada kerusakan moral, mental dan masa depan mereka. Hubungan yang dilandasi dengan hawa nafsu akan berujung dengan kekerasan, penghianatan bahkan hilangnya nyawa seseorang.
Disisi lain, negara bersikap acuh terhadap persoalan rakyatnya. Tidak ada upaya dari negara untuk membentuk rakyatnya agar memiliki pemahaman yang benar dalam menjalani kehidupan. Bahkan tidak ada larangan untuk para pemuda melakukan aktifitas pacaran dan perzinahan, sehingga tidak dianggap sebagai tindak pidana. Negara akan bertindak setelah ada korban.
Berbeda dengan pandangan islam. Perbuatan zina merupakan dosa besar, ditambah lagi menghilangkan nyawa seorang muslim tanpa hak hukumannya sangat berat.
Allah SWT berfirman:
"Membunuh satu jiwa tanpa alasan yang dibenarkan sama saja dengan membunuh seluruh manusia.” (Al-Maidah: 32)
Islam memandang bahwa ketakwaan seseorang muslim itu menjadi benteng utama. Dengan kata lain, tujuan diciptakannya seorang hamba adalah harus taat dengan hukum syariat, dan seorang muslim tidak akan melakukan perbuatan yang diharamkan oleh islam seperti pacaran, zina, bahkan membunuh.
Syariat Islam telah mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Syariat juga mengatur interaksi terhadap lawan jenis supaya tidak melampaui batas, melarang mendekati zina dan menetapkan pernikahan sebagai satu-satunya jalan untuk menuju hubungan yang sah dan mulia. Semua itu akan tegak jika negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah.
Negara memiliki peran penting dalam membentuk rakyatnya agar mempunyai sifat yang berkepribadian islam, yaitu melalui sistem pendidikan berbasis Islam dan menerapkan sistem pergaulan Islam. Disamping itu, perlu adanya kontrol masyarakat terhadap pergaulan bebas, aktif mengingatkan dan mencegah kemunkaran. Tentunya negara akan menerapkan sistem sanksi Islam bagi pelaku yang melanggar hukum syariat, sehingga memberikan efek jera dan mencegah orang lain melakukan tindakan serupa. Dengan begitu, tidak ada lagi aktifitas pacaran dan hubungan di luar nikah hingga pembunuhan.
Kasus tragis tersebut menjadi pelajaran, betapa rapuhnya kehidupan tanpa adanya tuntunan syariat Islam. Kejadian yang serupa dapat dicegah jika umat kembali menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Sudah saatnya kita menyadari bahwa kehormatan, keselamatan jiwa hanya terjamin oleh sistem Islam dalam bingkai Khilafah.
Wallahu a'lam bishowab