| 11 Views
Beras Mahal saat Stok Melimpah, Rakyat Makin Susah

Oleh : Moni Fauziah
Prihatin atas lonjakan harga beras di tingkat konsumen, meskipun cadangan beras nasional diklaim dalam kondisi sangat mencukupi. Karena itu, Pemerintah diminta segera stabilkan harga. Beberapa waktu terakhir harga beras medium bertenger di atas harga eceran tertinggi (HET) secara nasional, begitu pula dengan beras premium. Terkait kondisi tersebut, pengamat meminta agar pemerintah melalui Perum Bulog segera menyalurkan bantuan pangan beras 10 kilogram (kg) periode Juni-Juli 2025. Data per 10 Juni 2025 menunjukkan bahwa harga beras medium telah menembus Rp13.772/kg, melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp12.500/kg. Sementara itu, beras premium mencapai Rp15.725/kg, melebihi HET Rp14.900/kg. Lebih dari 133 kabupaten/kota terdampak, bahkan di beberapa wilayah, harga beras dilaporkan telah menyentuh angka Rp50.000/kg.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan pertama Juni 2025, hanya terdapat 119 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras. Kemudian, pada pekan kedua Juni 2025 semakin melebar wilayah yang mencatatkan kenaikan harga beras menjadi 133 kabupaten/kota.
Artinya, ada tambahan 14 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras
dalam waktu sepekan.
“Ini adalah anomali yang tidak bisa dibiarkan. Ketika stok cadangan beras pemerintah (CBP) sudah mencapai 4 juta ton, maka kenaikan harga ini jelas menunjukkan adanya masalah serius dalam distribusi," kata Cindy dalam keterangan yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyebut sudah berbulan-bulan harga beras medium di atas HET secara nasional dan juga beras premium. Menurutnya, kondisi ini terjadi salah satunya lantaran sebagian besar gabah/beras diserap oleh Bulog dan menumpuk di gudang Bulog.
“Beras ditumpuk terus di gudang hingga bisa diklaim sebagai stok terbesar sepanjang sejarah. Apa gunanya buat rakyat dan publik stok besar tapi harga melampaui HET?” kata Khudori kepada Bisnis Indonesia, Selasa (17/6/2025).
Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan harga naik. Inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme: tidak pro-rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite.
Jalur distribusi beras pemerintah di Indonesia melibatkan beberapa pihak dan tahapan. Perjalanan beras dari sawah hingga ke meja makan konsumen melibatkan beberapa tahapan distribusi yang kompleks. Secara umum, jalur distribusi ini dimulai dari petani yang memanen padi, kemudian melalui berbagai tangan seperti pengumpul, pedagang besar (wholesaler), distributor, hingga akhirnya sampai ke pengecer (retailer) seperti warung, toko kelontong, atau supermarket. Rantai panjang distribusi inilah yang membuka celah munculnya mafia pangan dengan melakukan manipulasi data dan menimbun barang sehingga terlihat langka yang akan memengaruhi harga beras menjadi mahal.
Bulog sebagai pelaksana kebijakan beras dalam negeri dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah juga berpotensi tidak terlepas dari kecurangan dalam proses distribusi. Terlebih jika kita bicara penyaluran beras untuk masyarakat miskin, mereka harus terdata dan tervalidasi sebagai kelompok yang mendapat bansos. Sedangkan data yang tercatat dengan yang terjadi di lapangan kadang kala tidak sama sehingga kebanyakan distribusi program raskin atau bansos tidak tepat sasaran.
Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. menilai, mahalnya harga beras di tengah stok melimpah adalah akibat pasar yang tidak sehat.
”Ini cerminan rusaknya rantai tata niaga beras akibat pasar yang tidak sehat dan distorsif,” tuturnya kepada MNews, Jumat (7-3-2025).
Menurutnya, kondisi ini terjadi sebagai wujud kegagalan pengurusan oleh pemerintah. ”Karut-marut ini telah lama diketahui, bahkan anomali harga pun sudah sering terjadi berulang-ulang. Ini juga menandakan kebijakan stabilisasi harga yang ditetapkan pemerintah sama sekali tidak bisa mengatasi persoalan,” ulasnya.
Hal itu, ucapnya, karena problem kenaikan disikapi dengan solusi teknis dan pragmatis seperti operasi pasar, pasar pangan murah dan sejenisnya sehingga hasilnya hanya meredakan sesaat, tetapi tidak mengakhiri masalah.
Dalam penilaiannya, persoalan ini bersifat sistemis karena berpangkal dari rusaknya konsep pengaturan yang dipakai oleh negara, yaitu menerapkan sistem liberal kapitalisme.
”Rusaknya rantai tata niaga beras, bahkan pangan secara umum disebabkan masalah yang mendasar, yaitu hilangnya peran negara dalam mengatur distribusi pangan,” tandasnya.
Pemerintah, lanjutnya, menyerahkan tata niaga kepada mekanisme pasar sehingga pengendalian harga dikontrol oleh pedagang dan korporasi swasta. ”Hal ini didukung penguasaan swasta terhadap stok pangan (beras) yang jauh melampaui Bulog, yaitu lebih dari 90%,” imbuhnya.
Berjalannya mekanisme ini, terangnya, adalah implementasi sistem demokrasi kapitalisme yang mewujud dalam politik kebijakan reinventing government, di mana peran negara tidak lebih dari sekedar regulator dan fasilitator. ”Sementara pengaturan dan pengelolaan pangan diserahkan pada korporasi. Akhirnya terbentuk pasar yang lepas dari pengawasan negara sehingga harga barang-barang di pasar ditentukan oleh pihak yang paling besar menguasai stok pangan,” bebernya.
Ia meyakini, selama pasar yang terbentuk bukan pasar syariah yang sehat tetapi pasar yang dikooptasi oleh pedagang dan korporasi besar, maka lonjakan harga pasti rentan terjadi meskipun stok pangan secara data mencukupi.
Ia beralasan, dalam pasar seperti ini akan tumbuh subur para mafia dan kartel akibat ketakhadiran pemerintah sehingga praktik spekulasi harga, penipuan dalam praktik jual beli juga akan masif terjadi.
Emilda mengatakan, untuk mewujudkan keadilan dan membentuk pasar yang sehat butuh kehadiran sistem Islam yang ditopang oleh kehadiran sistem politik dan ekonomi Islam.
Ia berargumen, secara politik, Islam menegaskan bahwa negara harus hadir secara utuh dalam mengurusi hajat publik serta menghilangkan berbagai kezaliman yang merugikan hak rakyat. Sebabnya, ia mengatakan, negara wajib menjadi penanggung jawab dan pelindung rakyat.
”Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. Dalam riwayat Muslim dan Ahmad, ’Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.’ Dalam hadis Muslim, Rasulullah menegaskan, ’Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya.’ Maka, dalam distribusi dan rantai tata niaga, peran pemerintah harus ada untuk mengawasinya, meskipun pemerintah diharamkan menetapkan harga,” urainya.
Wujud kehadiran negara, ia mencontohkan, di antaranya dengan mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar, melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dan sebagainya.
”Disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi dalam Islam. Untuk ini, pemerintah akan mengangkat kadi muhtasib yang akan melakukan pengawasan intensif serta menegakkan sanksi bagi pelaku penyimpangan dan penipuan,” paparnya.
Dalam Khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang. Khilafah akan memberi subsidi bibit, bubuk, maupun memberikan saprotan kepada petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan. Khilafah juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga stabil dan rakyat terjamin. Khilafah akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga. Pemastian ini pun merupakan ketundukan pada syariat Islam yang melarang ada intervensi harga. Maka, solusi hakiki bukan tambal sulam regulasi, tapi perubahan sistem.
Wallahu'alam