| 13 Views
Bencana Banjir Berulang Butuh Mitigasi Menyeluruh

Oleh : Anne
Pemerhati Sosial, Ciparay Kab. Bandung.
Bencana banjir besar yang melanda beberapa daerah di Jabodetabek, seolah menjadi bencana langganan tahunan. Banjir yang merendam ribuan rumah, jalan, rumah sakit, dan mal, dengan ketinggian air hingga mencapai tiga meter, mengakibatkan masyarakat korban banjir harus mengungsi. Tentu saja kerugian materi yang besar pun terjadi, tersebab imbasnya rumah, kendaraan, dan barang-barang warga yang rusak akibat banjir.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menuding program pembukan lahan 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air, sebagai pemicu terjadinya banjir di sejumlah wilayah Jabodetabek. Menurut Firman, pembukan hutan menjadi lahan pemukiman dan wisata di puncak Bogor membuat kawasan hijau menjadi gundul, sehingga air hujan tak bisa diserap dengan baik.(Tirto.id)
Sedangkan, peneliti ahli madya dari pusat riset limnologi dan sumber daya air BRIN, Yus Budiono menyebut ada empat faktor penyebab banjir di wilayah Jabodetabek, yakni penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut, dan fenomena cuaca ekstrem. Ditambah, sistrem drainase di Jabodetabek yang sudah tak memadai sehingga memperparah kondisi banjir. Banyak sistem drainase yang masih menggunakan perhitungan lama tanpa memperhitungkan peningkatan hujan ekstrem, akibat perubahan iklim dan perkembangan tata guna lahan. Selain itu, pembangunan kawasan permukiman baru, sering tak dibarengi sistem drainase yang memadai, sehingga limpasan air hujan tidak bisa tertampung dengan baik. (Jabartribun.com)
Sejatinya, bencana yang terjadi berulang haruslah dicari akar masalahnya, karena ini bukan sekadar problem teknis, tapi diakibatkan sistemis kebijakan yang berparadigma kapitalistik yang hanya mementingkan keuntungan bisnis semata, sehingga menghantarkan pembangunan pada konsep yang abai pada kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan bahwa kerusakan serius akibat alih fungsi lahan di kawasan Puncak Bogor, sudah lebih dari separuhnya. Dengan mengatas namakan pertumbuhan ekonomi, para pengusaha melakukan alih fungsi hutan menjadi permukiman dan tempat wisata. Kegiatan tersebut dilakukan secara terus-menerus dan masif sehingga menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan.
Begitu pula dengan pemangku kebijakan, demi mengejar peningkatan pendapatan daerah, alih-alih menghentikan alih fungsi hutan dan pembangunan yang merusak lingkungan, pemerintah justru memberikan izin pembangunan kepada para pengusaha.
Pemerintah yang seharusnya menjadi raa'in (pengurus rakyat), tidak tercermin pada sistem saat ini. Karakter pejabat yang kapitalistik, dimana mereka hanya mencari keuntungan pribadi dari jabatannya tetapi abai terhadap rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Tentu saja, penguasa kapitalistik merupakan buah dari penerapan sistem demokrasi sekuler kapitalistik. Alhasil, alih-alih mengurusi rakyat, mereka malah menjadi pembisnis berjabat tangan dengan para korporasi.
Bahkan, tak ayal di tengah bencana yang terjadi, oleh para pejabat dijadikan ajang pencitraan, dengan mengeluarkan pernyataan atau kebijakan yang menunjukkan simpati pada korban banjir, tetapi tidak memberikan solusi yang menyentuh akar masalah. Akibatnya, persoalan banjir tidak kunjung usai dan kembali terjadi di tiap tahun.
Tentunya, berbeda solusi akan bencana banjir jika berada dalam paradigma sistem Islam. Dalam Islam, negara haruslah menjadi Junnah ( pelindung) bagi seluruh umat. Maka itu, negara dengan sistem Islam akan melakukan mitigasi bencana banjir sebelum (pencegahan) dan sesudah terjadi bencana. Dalam hal mencegah banjir, negara akan menjalankan politik pembangunan dan tata kota yang memperhatikan pelestarian lingkungan.
Disamping itu, negara akan menjaga fungsi daerah resapan air secara optimal, dengan melarang penggunaan daerah resapan air untuk permukiman, tempat wisata, maupun yang lainnya. Selain itu, kegiatan alih fungsi hutan pun, akan dilakukan berdasarkan perhitungan para ahli sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Begitupun dengan drainase, jika terjadi sedimentasi sungai, negara akan mengerahkan petugas untuk melakukan pembersihan pengerukan sungai secara berkala, serta mengaktifkan reboisasi dengan pepohonan yang akarnya efektif menahan air.
Warga pun akan dimintai peran serta agar bertanggung jawab terhadap lingkungan, dengan tidak membuang sampah di sungai dan saluran air. Begitu pula, perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan maka akan diterapkan sanksi tegas dan menjerakan.
Namun, jika setelah upaya pencegahan dilakukan maksimal ternyata tetap terjadi banjir, maka secara optimal warga terdampak akan dievakuasi, dengan pelayanan tempat pengungsian yang layak dan mencukupi kebutuhan mereka. Adapun, jika terjadi kerusakan infrastruktur, negara akan memperbaiki dan membangunnya kembali dengan dana dari baitulmal atau dengan memungut pajak (dharibah) untuk keperluan ini. Dimana, sifatnya temporer dan sebatas besaran kebutuhan untuk bencana saja.
Dan paling terpenting, Sistem Islam akan mencetak para pejabat yang amanah, yang tidak akan memperjualbelikan izin pembangunan yang merusak lingkungan, demi keuntungan pribadi semata, karena sistem Islam di bangun atas akidah yang tidak memisahkan agama dengan urusan negara, sehingga ruhiyah para pemangku kekuasaan haruslah sesuai serta menjalankan syari'at Islam. Alhasil, tertancap kuat pada diri para pemangku kebijakan, bahwasanya segala amal perbuatan akan di hisab dan di pertanggungjawabkan.
Wallahu a'lam bish shawwab.