| 94 Views

Anak Perempuan Pelaku Bullying, Salah Siapa?

Oleh : Asma Sulistiawati

Pegiat Literasi 

Kasus bullying seakan tiada habisnya di negeri ini. Bullying pun tidak memandang usia dan gender. Perempuan yang identik dengan kelemahlembutan ternyata bisa juga melakukan aksi bullying.

Itulah yang terjadi di Batam baru-baru ini. Empat perempuan ditangkap oleh Polresta Barelang, Kepulauan Riau karena diduga melakukan bullying dengan kekerasan terhadap anak di Batam. Mereka adalah N (18), RRS (14), M (15), dan AK (14). 

Sementara itu, korbannya adalah SR (17) dan EF (14). Video perundungan tersebut bahkan telah menyebar luas di media sosial. Dari penyidik diketahui bahwa motif bullying adalah karena pelaku kesal kepada korban. Pelaku juga menuduh korban mencuri barangnya. (liputan6, 3/3/2024)

Berdasarkan hukum di Indonesia, kasus bullying di Batam tersebut dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa. Mereka akan dikenai sanksi yang berbeda. Mereka yang berusia di bawah 18 tahun terkategori anak-anak sehingga sanksi yang dikenakan adalah berdasar Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Sementara satu pelaku dewasa akan dikenakan Pasal 170 ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama dengan ancaman penjara 7 tahun.

Penerapan undang-undang semacam itu membuka celah bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Karena mereka dianggap anak-anak, maka sanksi terhadap mereka dilonggarkan. Mereka bahkan mungkin menghindari hukuman. Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan tidak memberikan efek jera. Bahkan, hal ini dapat memicu munculnya pelaku intimidasi lainnya karena mereka menganggap sanksi atau hukuman yang diberikan ringan atau lemah.

Fakta menunjukkan bahwa tidak hanya laki-laki saja yang melakukan intimidasi. Wanita juga bisa menjadi pengganggu. Anak perempuan juga bisa bersikap kasar baik secara verbal maupun fisik. Itu karena orang tuanya tidak mendapat perawatan yang layak. Padahal, peran orang tua tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan fisik anaknya, namun juga merawat dan mendidiknya agar menjadi orang yang bertakwa.

Orang tua harus mengajari anak mana yang baik dan mana yang buruk. Orang tua juga menerapkan aturan dalam keluarga yang harus dipatuhi bersama.Namun kehidupan dalam kapitalisme sekuler membuat orang tua khawatir akan hal-hal materi. Waktu mereka dihabiskan kebanyakan untuk menghasilkan uang. 

Akibatnya, anak-anak tetap tidak diawasi. Mereka terpapar berbagai konten negatif yang tersebar di jejaring sosial media. Mereka akhirnya meniru hal-hal buruk tersebut, termasuk penindasan dan kekerasan. Keluarga dalam sistem sekuler ini tidak menjadikan agama sebagai aturan. Anak-anak tidak diajari agama, sehingga tidak ada standar dalam hidupnya. Mereka gagap dalam menghadapi masalah dan mencari titik awal yang salah.

Meningkatnya kasus bullying di negeri ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang diterapkan. Sistem pendidikan sekuler memisahkan kehidupan dari agama. Mereka tidak dididik menjadi individu yang berakhlak mulia dan bertakwa.Sistem pendidikan sekuler ini menghasilkan generasi yang jauh dari agama. 

Mereka tidak menganggap aturan agama penting dalam kehidupan. Mereka tidak memahami konsep baik dan jahat, sehingga mereka berbuat sesukanya. Tidak mengherankan jika tindakan memalukan seperti penindasan sangat umum terjadi.

Islam adalah agama yang mulia. Memiliki kaidah-kaidah yang dapat melahirkan generasi berakhlak mulia yang jauh dari kekerasan. Dengan bantuan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, anak-anak dibentuk menjadi orang yang bertakwa dan juga tangguh dalam menjalani kehidupan. Sistem pendidikan Islam tidak bergantung pada nilai-nilai akademis, tetapi pada pengembangan karakter sesuai hukum syariah. Generasi yang tidak hanya maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga bertakwa.

Islam juga membimbing anak-anak dalam pendidikan yang benar. Orang tua yang dibesarkan dalam agama Islam dapat membimbing anak-anaknya sesuai dengan ajaran Syariah. Dengan menerapkan aturan Islam, kontrol masyarakat bekerja sedemikian rupa sehingga dapat mencegah penyebaran perilaku non-Syariah. 

Pelanggaran atau ketidaktaatan, tidak ditolerir karena masyarakat saling mengingatkan dan menasehati. Anak-anak juga terlindungi dari segala pengaruh buruk.Tugas penting negara adalah melindungi dan mengamankan generasi dari berbagai bahaya. Negara melarang segala konten yang merusak seperti pornografi, liberalisme, kekerasan, amoralitas dan lain-lain. Tayangan yang tidak berguna akan dihapus. Sebaliknya, lebih banyak konten yang mengajarkan dan dapat meningkatkan ketaqwaan kepada Sang Pencipta.

Negara juga menerapkan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan atau kekerasan. Jika pelakunya sudah balig, maka diterapkan sanksi padanya. Anak-anak yang melakukan perbuatan kriminal seperti perundungan tidak dapat dikenai sanksi pidana dalam hukum Islam. 

Mereka belum tergolong mukalaf atau dikenai beban hukum. Mereka tidak tidak terkena sanksi pidana Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: “Telah diangkat pena dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR. Abu Dawud).

Jika pelanggaran disebabkan oleh kelalaian orang tua atau wali, maka orang tua atau wali tersebut akan dikenakan sanksi. Namun bila bukan karena kelalaian orang tua atau wali, maka tidak dapat dihukum. Negara memberikan pendidikan kepada anak-anak yang melakukan kejahatan tersebut dan kepada orang tuanya.Sistem Islam mampu melahirkan generasi yang berakhlak mulia. Hal ini hanya bisa terwujud jika negara menerapkan hukum Islam secara kaffah. Jadi mari kita perjuangkan sistem terbaik yang akan melindungi generasi kita dari sistem sekularisasi kapitalisme yang menggoda dengan keburukannya dari semua sisi. Wallahu'alam


Share this article via

78 Shares

0 Comment