| 258 Views

Pajak Naik, Rakyat Makin Tercekik

Oleh : Yufi Ummu Zakka

Pajak menjadi kewajiban yang harus dibayar rakyat. Dimana pembayarannya dilakukan secara rutin setiap bulan atau tahunan. Meski hasil pembayaran pajak menjadi pendapatan negara dan bertujuan untu kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, pembayaran pajak sering memberatkan rakyat dan jumlahnya semakin besar. Hal ini,  dirasakan oleh Usaha Dagang (UD) Pramono dimana saat ini hampir tidak bisa menjalankan usaha dagangnya karena tersandung masalah pajak senilai Rp. 670 juta (KOMPAS.com/3 November 2024).

Tentu kondisi UD. Pramono membuat ribuan peternak sapi di Boyolali menjadi resah. Sebab mereka tidak akan mendapat lagi persediaan pakan ternak dan tidak ada yang membeli susu sapi dari para petani. Mereka sudah puluhan tahun bekerjasama dan saling menguntungkan dengan UD.  Pramono. Selain itu, UD. Pramono juga memberikan kredit tanpa bunga pada para petani. 

Kemudian kasus pajak juga membuat geger, dimana dana pajak ratusan trilyun bocor. Ada 300 pengusaha sawit yang merugikan negara sebesar 300 trilyun (Muslimah news, 17 0ktober 2024).

Memprihatinkan, rakyat semakin terbebani dengan biaya pajak. Tidah hanya satu jenis pajak tetapi berbagai jenis pajak dengan tarif yang semakin mencekik rakyat. Bahkan ada perbedaan penerapan kebijakan pajak antara perusahaan dan individu yang mendzolimi rakyat.

Begitu pula, kebutuhan pokok rakyatpun tidak terlepas dari pajak. Padahal tanpa pajak harga kebutuhan pokok sudah tinggi. Negara siap dengan berbagai kebijakan denda jika rakyat tidak tertib membayar pajak. Sedangkan di sisi lain, negara berbeda kebijakan dan tidak tegas terhadap pengusaha yang tidak membayar pajak. Padahal UMKM yang diunggul-unggulkan pemerintah, tidak hanya butuh modal usaha tetapi juga kebijakan pemerintah yang pro rakyat dan berkeadilan. Sehingga ekosistem usaha yang tidak mendukung menyababkan banyak UMKM gulung tikar. Salah satunya disebabkan masalah pajak.

Di dalam sistem kapitalis, pajak dijadikan sebagai tumpuan pembiayaan berjalannya negara. Maka hal ini berdampak, pada kebijakan negara yang berupaya keras dalam pemungutan pajak terhadap rakyat. Kemudian muncul kesenjangan ekonomi yang semakin nyata, dimana negara lebih berpihak pada pengusaha bermodal besar dari pada rakyat jelata. Negara akan memuluskan segala urusan pengusaha termasuk permasalahan pajak. Tidak hanya itu, amnesty pajakpun diobral bagi para pengusaha kelas kakap. Sementara bagi UMKM akan selalu dihantui masalah pajak yang sangat memberatkan bagi mereka.

Persoalan diatas tidak akan ditemui jika menerapkan sistem ekonomi Islam. Ekonomi Islam berlandaskan pada kemaslahatan umat dan berbasis syariat Islam. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

Maka jelas, Islam melarang manusia saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Termasuk pula mengambil pajak dari orang yang tidak wajib pajak. Ini adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut dalam situasi khusus. Dengan objek pungutan hanya pada orang kaya saja. Setelah situasi khusus terselasaikan maka pajak dihentikan. Jadi tidak ada pajak yang bersifat permanen. Aktivitas ekonomi diterapkan berdasarkan syariat Islam baik itu antar individu atau pembisnis. Kemudian negara juga akan melarang praktik riba dan transaksi yang melanggar syariat Islam. Jadi, penerapan syariat kafah dalam perekonomian akan menghasilkan ekonomi yang produktif, sejahtera dan adil bagi semua masyarakat.


Share this article via

118 Shares

0 Comment