| 123 Views

Pajak Dan Sistem Kapitalisme Gagal Mensejahterakan Rakyat

Oleh : Riri

tirto.id - Mulai 1 Januari 2025, Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memastikan tarif PPN naik jadi 12 persen, akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. 

Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan PPN 12 persen dilakukan sebagai buah dari pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada masa pemerintahan Joko Widodo, ayah Gibran.

Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA.
Sejumlah dalih diungkapkan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional.

Sudah jelas, keputusan pemerintah ini mendapat penolakan dari masyarakat yang kondisi ekonominya kian tercekik.
Inisiator petisi Bareng Warga, menyatakan kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab, kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk.
Hingga Jumat pagi, 20 Desember 2024, petisi yang dibuat oleh Bareng Warga tersebut sudah ditandatangani oleh 145.362 orang. Menurut Bareng Warga, petisi ini dibuat karena kebijakan untuk menaikan PPN hanya akan membuat hidup masyarakat semakin sulit di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94 persen bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.
Kata inisiator petisi, pendapatan atau upah masyarakat juga masih terdapat masalah. Data BPS per bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP).
Naiknya PPN yang juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli. Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas," ucap inisiator.

Bentuk Kedzaliman penguasa kapitalisme

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem Kapitalisme. karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan,  Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’  sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara
Pungutan pajak. Ini jelas sangat menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat, padahal faktanya tidak seperti itu.

Negeri yang menganut sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya. Kebutuhan pokok rakyatnya pun dikenai pajak yang seharusnya dijamin oleh negara malah “dipalak” oleh negara. Terbayang oleh kita yang akan terjadi kemudian jika kebijakan ini benar-benar direalisasikan, tentu berbagai harga kebutuhan rakyat akan naik, padahal saat ini saja harganya sudah tinggi.
negeri kita ini kaya akan SDA yang jika dikelola dengan baik akan dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Ini karena SDA terkategori kepemilikan umum. Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelola SDA yang justru diserahkan kepada asing. Alih-alih memberi kemudahan bagi rakyatnya, yang terjadi justru rakyat yang hidupnya sudah kembang kempis, dipaksa merogoh saku lebih dalam.   

Alhasil kebijakan ini jika  diterapkan  merupakan bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya.

Allah Swt. berfirman,
اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ وَيَبْغُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْم
Sesungguhnya, kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa(mengindahkan)kebenaran. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Asy-Syura: 42).

Pengelolaan Pajak Dalam Sistem Islam
 
Memang tidak dimungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya, sangat  berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.
Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong.

Syekh Atha’ Abu Rusytah menegaskan bahwa dalam Islam, pajak tidak diambil, kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat. Pertama, hal itu diwajibkan atas baitulmal dan kaum muslim sesuai dengan dalil-dalil syarak yang sharih (jelas). Kedua, tidak ada harta di baitulmal yang mencukupi untuk kebutuhan itu. Dalam kondisi ini saja baru boleh mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan, diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat. Firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS Al-Baqarah: 219).

Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam konsisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dan dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, khilafah akan mampu menjamin kesehateraan rakyat individu per individu.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat.  Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.

Kesimpulanya tidak ada pajak di dalam Islam. Kecuali pada kondisi ini, dan sesuai dengan kadarnya tanpa tambahan.Tidak diambil, kecuali dari zhahri ghina (orang kaya) dan itu adalah kondisi yang dalam sejarah Islam sangat jarang terjadi sebab sumber-sumber pemasukan tetap negara (fai, kharaj, jizyah, hasil eksplorasi SDA , termasuk bahan tambang dan sebagainya) cukup untuk itu.

Maknanya adalah segala yang dalam  membelanjakannya tidak perlu tenaga, atau kelebihan dari kecukupan keperluannya sesuai yang makruf untuk orang semisalnya. 
Sabda Rasul saw., “Sedekah  yang paling utama adalah yang dari orang kaya.”

Telah sangat jelas perbedaan konsep pajak dalam sistem Islam dan sistem kapitalisme. Dengan praktik pajak saat ini, telah sangat nyata siapa yang menjadi korban kezaliman penguasa. Apalagi jika rencana kenaikan PPN 12 persen ini, diberlakukan dan berimbas pada kenaikan pajak pembangunan rumah, kezaliman itu tentu akan makin nyata. Allah Swt. dan Rasulullah SAW  telah memperingatkan dengan peringatan yang sangat keras bagi pelaku kezaliman ini, tetapi seolah tidak membuat mereka jera ataupun takut.

Sudah saatnya kita berupaya keras menghilangkan kezaliman ini dengan terus berjuang mendakwahkan Islam kaffah ke tengah umat sehingga syariat Islam bisa diterapkan secara sempurna di muka bumi. Ini karena hanya dengan menerapkan Sistem Islam secara kaffah, umat Islam akan terhindar dari berbagai bentuk kezaliman.Wallahualam bissawab.


Share this article via

81 Shares

0 Comment