| 41 Views

Pabrik Bata Tutup di Purwakarta: Akibat Disrupsi Digital, Milenial, dan Pandemi

CendekiaPos -  PT Sepatu Bata Tbk, merek sepatu legendaris yang telah berakar di Indonesia sejak 1939, baru-baru ini mengumumkan penutupan pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat. Langkah ini diambil setelah perusahaan mengalami kerugian yang terus meningkat selama empat tahun terakhir, sebuah fase sulit yang menandai akhir dari operasi produksinya di negara ini.

Triple Disrupsi yang Menggoyahkan Fondasi Bata

Menurut Yuswohady, pengamat pemasaran dari Inventure, Bata tidak hanya terpukul oleh pandemi COVID-19, tetapi juga oleh dua disrupsi besar lainnya: disrupsi digital dan pergeseran preferensi generasi milenial. Pandemi, yang membatasi pergerakan orang dan mengurangi frekuensi kunjungan ke toko fisik, telah mempercepat penurunan permintaan sepatu Bata, yang mayoritas outletnya berlokasi di kota-kota kecil atau second cities di Indonesia.

Tertinggal dalam Perlombaan Digitalisasi

Sebelum pandemi melanda, Bata sudah berjuang menghadapi gelombang digitalisasi yang mengubah cara konsumen berbelanja. Pemain-pemain baru di industri sepatu seperti Compass, Brodo, dan Aerostreet telah cepat beradaptasi dengan teknologi digital untuk membangun daya saing mereka. Mereka memanfaatkan media sosial dan platform e-commerce untuk menjangkau pelanggan, menciptakan tren dan FOMO (fear of missing out), yang berakhir dengan mereka mengambil pangsa pasar yang signifikan.

Sementara itu, Bata terlambat dalam memperbarui proses operasionalnya menjadi lebih digital. Meskipun telah mencoba merambah ke pasar online, upayanya dinilai belum maksimal. "Bata masih terpaku pada model pengelolaan lama yang kurang responsif terhadap perubahan pasar yang dinamis," jelas Yuswohady.

Merek yang Menua di Era Baru

Disrupsi ketiga dan yang paling kritis adalah penuaan merek Bata itu sendiri. Sejak tahun 1990-an, Bata dianggap sebagai merek yang tidak lagi relevan dengan generasi muda, terutama milenial dan Gen Z yang kini mendominasi pasar. Bata dipersepsi sebagai merek tua yang tidak mengikuti perkembangan zaman, berbeda dengan merek seperti Nike yang berhasil tetap relevan dengan berkolaborasi dengan ikon seperti Michael Jordan.

Generasi milenial dan Gen Z mencari gaya dan inovasi dalam fashion, sesuatu yang kurang ditawarkan oleh Bata yang lebih banyak mengandalkan model tradisional dan konservatif. Seiring waktu, Bata, yang awalnya merupakan merek global dari Cekoslowakia, semakin dianggap sebagai merek lokal yang kurang prestisius.

Refleksi dan Pelajaran dari Penutupan Bata

Penutupan pabrik Bata di Purwakarta adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak merek tradisional di era modern ini. Untuk bertahan dalam persaingan yang semakin ketat, merek-merek perlu terus inovatif dan adaptif terhadap teknologi serta selera pasar yang berubah.

Ketika generasi penggerak pasar berganti, merek yang tidak berhasil meregenerasi basis konsumennya akan mengalami kesulitan. Bata, dengan core customer yang terdiri dari Boomers dan Gen X, gagal menarik minat generasi yang lebih muda yang kini mendominasi konsumsi.

Kisah Bata mengingatkan semua pelaku industri bahwa inovasi dan adaptasi adalah kunci untuk bertahan dalam jangka panjang, terutama di era di mana disrupsi menjadi norma baru.


Share this article via

40 Shares

0 Comment