| 246 Views
KUA untuk Semua Agama

Oleh : Ihsaniah Fauzi Mardhatillah
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Kementerian Agama mulai merumuskan jenis layanan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk semua agama yang dibahas bersama dalam Rakornas Program Bina Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam. Seluruh jajaran Kemenag, menurut Dirjen Bimas Islam, Kamaruddin Amin berkomitmen mewujudkan gagasan yang diinisiasi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tersebut.
Untuk itu, koordinasi dari pusat hingga daerah diperkuat untuk menjadikan KUA sebagai pusat layanan bagi semua agama dan fokus utamanya merumuskan jenis-jenis layanan yang dapat diberikan oleh KUA kepada masyarakat lintas agama. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa penyuluhan agama, bimbingan perkawinan, atau kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain dari semua agama. Harapannya, perubahan KUA menjadi pusat layanan semua agama dapat meningkatkan kerukunan antarumat beragama. Dan diharapkan dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan layanan keagamaan yang lengkap.
Gagasan yang dilontarkan Menag mencerminkan konsekuensi dalam penerapan sistem sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) di negeri ini. Sistem ini melegalkan kebebasan dalam beragama yang berimplikasi pada keharusan negara menjamin hal tersebut. Semua agama dipandang harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memperhatikan batasan-batasan yang dibolehkan atau dilarang dari agama, khususnya umat Islam.
Kementerian Agama yang awalnya dibentuk untuk melayani kepentingan umat Islam, dengan dalih toleransi dan menghargai umat lain berubah fungsi menjadi pelayan kepentingan semua agama. Secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan terhadap kebenaran agama lain, ini juga merupakan aroma pluralisme yang semakin menguat. Paham ini sangat bertentangan dengan pemikiran Islam, karena menganggap semua agama benar. Yang membedakan hanya Tuhan dan ajarannya saja. Plularisme memandang siapa pun layak mendapatkan tempat terbaik di akhirat kelak. Selama dia taat pada yang dianggap Tuhan di dunia.
Dengan menguatnya pluralisme di tengah masyarakat, tentu akan menghilangkan pemahaman hakiki bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhai di sisi Allah. Pluralisme agama merupakan paham kemusyrikan yang menyamakan semua agama. Penyembah berhala itu disamakan dengan penyembah Allah SWT. Namun dalam model kemusyrikan sekarang diganti nama dengan pluralisme agama. Apalagi dengan melemahnya pemahaman umat Islam saat ini akibat pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini.
Kebijakan ini tentu akan semakin menghilangnya pemahaman kaum Muslimin atas ajaran Islam yang benar. Memang, negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama manapun. Namun, jika menyatukan urusan pernikahan dalam satu institusi merupakan bentuk ikut campur terhadap ajaran agama selain Islam. Kebijakan ini tentu sejalan dengan pengarusan ide moderasi Islam atau beragama yang saat ini masif dilakukan di seluruh dunia Islam.
Islam merupakan sebuah ideologi yang memiliki akidah dan memancarkan berbagai peraturan kehidupan darinya. Adanya gagasan moderasi beragama yang mencakup pluralisme akan menjauhkan umat dari pemahaman Islam sebagai Ideologi dan menghambat kebangkitan Islam Ideologis. Semua ini tidak lepas dari agenda Barat yang tidak akan pernah rela kepemimpinan Islam ideologi tegak demi melanggengkan hegemoni kapitalisme global di dunia. Tak hanya itu, negeri-negeri Islam sendiri tidak pernah memandang buruk adanya keberagaman di tengah masyarakat. Sebab, pluralitas (keberagaman) merupakan sunatullah yang kita terima sebagai suatu kenyataan.
Ketika negara Islam berdiri, masyarakatnya berasal dari beragam suku bahkan tak sedikit orang non Muslim tinggal di negara Islam atau dikenal dengan kafir dzimmi. Tapi, pluralitas atau keberagaman sangat berbeda dengan pluralisme yang didefinisikan sebagai paham yang mengajarkan semua agama sama. Maka pluralitas berarti kemajemukan atau keberagaman.
Selama belasan abad Islam berhasil menyatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Di sisi lain, harta, jiwa dan kehormatan warga non Muslim senantiasa terpelihara dalam naungan syariat Islam di bawah naungan Khilafah. Kaum Muslim berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah manusia. Dalam Islam, setiap warga negara baik Muslim atau non Muslim mendapat jaminan kebutuhan pokok semisal pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan mendapat betapa syariat Islam memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum Muslim juga non Muslim yang hidup di bawah naungan negara Khilafah. Dalam hal pernikahan, non Muslim diizinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau pun Rabbi mereka. Juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka.
Terkait hubungan sosial kemasyarakatan, non Muslim wajib mengikuti syariat Islam seperti sistem sanksi, peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Negara Islam akan menerapkan aturan-aturan tersebut pada semua orang secara sama tanpa memandang Muslim atau non Muslim. Beginilah Khilafah beserta bukti otentiknya memperlakukan umat non Muslim atau ahlu dzimmah dalam kekuasaannya. Penerapan Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Sungguh, rancangan kebijakan dengan menggaungkan moderasi beragama, sejatinya mendatangkan murkanya Allah karena mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Seperti firman Allah, “Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Dan (janganlah) kamu menyembunyikan kebenaran. Sedangkan kamu mengetahuinya” (TQS al-Baqarah [2]: 42).[]