| 330 Views

Kepemimpinan Perempuan Bukan Menjadi Kunci Kesuksesan Negara, Melainkan Dengan Islam Kaffah

Oleh : Mentari
Aktivis Muslimah Ngaji

Isu kesetaraan gender terus disuarakan dari level nasional hingga internasional. Mimpi pemimpin dalam sistem demokrasi menyetarakan keterwakilan perempuan dalam parlemen masih diupayakan untuk terwujud. Pada kesempatan menghadiri pertemuan parlemen anggota Meksiko (MIKTA) Speakers’ Consultation ke-10, Ketua DPR RI Puan Maharini menegaskan bahwa partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam proses politik ialah kunci mencapai kemajuan negara.

Ia menyoroti kondisi perempuan yang masih kurang terwakili di berbagai tingkat pengambilan keputusan, terutama di parlemen dunia yang peningkatannya baru sekitar 3% sejak lima tahun lalu. Ini menyebabkan kesetaraan gender pada badan legislatif secara global baru akan tercapai pada 2063. Oleh karena itu, ia mendorong kesetaraan gender, baik di parlemen dan berbagai institusi publik, agar dijadikan agenda prioritas global. (Kompas, 7-5-2024).

Ia juga menganggap 2024 sebagai momentum bagi akselerasi kepemimpinan perempuan di dunia politik. Katanya, kepemimpinan perempuan akan menjamin berbagai suara masyarakat lebih jelas terdengar dan berbagai kepentingan masyarakat lebih terwakili pada institusi publik. Benarkah demikian?

Kenyataannya, kala masyarakat Indonesia meminta agar harga BBM, bahan pangan, dan lain-lain tidak dinaikkan, justru yang terjadi sebaliknya. kala masyarakat meminta dibuka lapangan pekerjaan dan memberikan mereka rumah yang layak sebagai tempat tinggal, hal ini pun tidak kunjung dipenuhi. Jadi, suara masyarakat mana yang jelas terdengar? Kepentingan masyarakat mana yang terwakili oleh institusi publik?


Partisipasi Politik Perempuan

Menurut ketua MPR RI Bambang Soesatyo, peran perempuan dalam politik di Indonesia sudah meningkat dan masih besar potensi yang bisa digali. Meskipun ia mengatakan bahwa di balik fakta meningkatnya keterpilihan perempuan di DPR RI, Pemilu 2024 masih banyak merugikan perempuan. 

Kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperkirakan Pemilu 2024 memberikan hasil signifikan bagi perempuan. Jumlah sementara perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI meningkat dari 20,5% (Pemilu 2019) menjadi 22,1% (Pemilu 2024). Namun, belum semua parpol yang memenuhi keterwakilan 30% perempuan di semua daerah pemilihan. (Tempo, 6-5-2024).

Sayang sekali, para pemimpin dan pejabat di negeri muslim—termasuk Indonesia—belum menyadari atau memang terkelabui oleh kesetaraan gender. Kesetaraan gender merupakan salah satu alat penjajahan gaya baru untuk menguasai negeri-negeri muslim. Partisipasi perempuan dalam parlemen sebagai pembuat kebijakan dan keputusan menjadi salah satu indikator terwujudnya kesetaraan gender.

Minimnya keterwakilan perempuan dan kurangnya perempuan sebagai pemimpin dianggap akan berdampak pada rendahnya indeks kesetaraan gender. Kepemimpinan perempuan pun dipandang kunci kemajuan negara dan sangat esensial bagi kesejahteraan bangsa. Namun, sampai saat ini, belum ada satu pun negara yang mengusung kepemimpinan perempuan (kesetaraan gender) menyejahterakan perempuan secara khusus dan masyarakat. Tampak sekali, apa yang mereka suarakan tentang kesetaraan gender hanya wacana dan harapan kosong.


Kepemimpinan Perempuan

UN Women sengaja dibentuk PBB sebagai pelopor global bagi perempuan untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. UN Women meyakini bahwa partisipasi dan kepemimpinan perempuan secara penuh dan efektif dalam semua bidang kehidupan akan mendorong kemajuan pada semua orang. Pemahaman inilah yang dianut dan dibenarkan oleh para pemimpin dan pejabat negeri.

Hal di atas yang mendasari Ketua DPR RI Puan menyatakan kepemimpinan perempuan merupakan kunci kemajuan negara. Namun, benarkah kepemimpinan perempuan memajukan negara? Berdasarkan data Global gender gap Report 2015, Islandia, Finlandia, dan Denmark adalah negara yang dikenal sebagai negara dengan indeks kesetaraan gender yang tinggi.

Penelitian European Union Agency for Fundamental Rights (FRA) menunjukkan bahwa di negara Skandinavia, Finlandia, dan Denmark terjadi lebih banyak kekerasan yang ditujukan pada pasangan perempuan, lebih tinggi daripada rata-rata di Uni Eropa. (Washington Post). 

Bahkan, Amnesty International pada 2019 melaporkan bahwa Finlandia dan Denmark memiliki tingkat pemerkosaan yang sangat tinggi dan penyintas kekerasan seksual digagalkan oleh sistem peradilan negaranya. Pelaku kejahatan pemerkosaan dan kekerasan seksual tidak pernah diadili. 

Dengan demikian, kemajuan apa yang hendak diraih dengan mengaruskan opini kepemimpinan perempuan yang diinisiasi pegiat gender? Fakta di atas mengonfirmasikan bahwa negara-negara yang memiliki indeks kesetaraan gender tinggi tidak berdampak baik bagi negara mereka. Keberadaan kepemimpinan perempuan pada level tertinggi pun belum bisa menyelesaikan masalah kehidupan.

Kepemimpinan perempuan bukanlah kunci kemajuan negara, melainkan dengan penerapan Islam secara kafah. Berbagai masalah yang menimpa umat manusia di dunia, termasuk perempuan bukan karena ketaksetaraan gender. Akar persoalannya ialah penerapan kapitalisme. Bahkan, berbagai perbaikan aturan yang berpihak perempuan tidak menjamin dan akan efektif mengatasi persoalan perempuan.


Penerapan Islam

Rasulullah saw. bersabda, “Suatu kaum tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” (HR Bukhari). Hadis ini menjadi salah satu dalil yang menunjukkan bahwa perempuan tidak menduduki posisi kepemimpinan dalam pemerintahan, sedangkan di luar pemerintahan dibolehkan oleh syarak.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa perempuan dibolehkan menduduki berbagai jabatan, selama tidak termasuk dalam wilayah pemerintahan (Khalifah, mu’awin (pembantu khalifah), wali (gubernur), qadhi qudhat (pemimpin para kadi), serta qadhi mazhalim (kadi yang berkewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat khalifah jika zalim terhadap rakyat atau menyalahi Al-Qur’an dan Sunah).

Inilah sejatinya kunci kemajuan negara, yakni penerapan Islam. Sistem Islam mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan. Sistem ekonomi Islam yang antiriba, antispekulasi, tidak zalim, dan tidak curang, mampu memakmurkan hidup umat manusia.

Sistem Islam yang dipimpin oleh khalifah (laki-laki) menetapkan atas harta-harta tertentu sebagai milik umum dan dikelola negara untuk kemakmuran rakyat. Begitu pula sistem moneter yang berbasis emas dan perak yang diterapkan dalam Khilafah terbukti mampu menciptakan kestabilan ekonomi dalam waktu yang sangat panjang. Kemakmuran benar-benar terwujud, bukan sekadar angka-angka yang tidak nyata.


Khatimah

Penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalistik sesungguhnya yang menjadikan perempuan sebagai komoditas, seperti halnya barang. Perempuan pun dijadikan sebagai tulang punggung, bahkan alat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia. Semua itu dilegalkan atas nama kesetaraan gender.

Kepemimpinan perempuan mampu memajukan negara hanya ilusi tanpa bukti hingga saat ini. Sesungguhnya hanya Islam yang menjamin kesejahteraan masyarakat, termasuk perempuan. Islam menjamin nafkah perempuan dengan berbagai mekanisme sehingga perempuan dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan pendidik generasi dengan optimal. Dengan demikian, perempuan hidup sejahtera tanpa harus bekerja untuk menafkahi dirinya.


Share this article via

71 Shares

0 Comment