| 27 Views
Industri Lokal Berjatuhan, Akibat Salah Kebijakan?

Oleh : Nasyi'ah Dahlani, A.Md
Aliansi Penulis Rindu Islam
PT Sritex, salah satu ikon industri tekstil di Indonesia bahkan Asia Tenggara, tumbang. Perusahaan itu akhirnya tutup secara resmi per 1 Maret 2025. Hampir 11.000 pekerja kehilangan pekerjaan dalam dua bulan pertama tahun 2025. Penutupan Sritex bukan hanya menjadi tragedi bagi ribuan pekerja yang kehilangan mata pencarian, tetapi juga menjadi simbol dari krisis yang lebih luas dalam industri tekstil nasional.
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) merupakan perusahaan tekstil yang berdiri sejak 1966 di Solo, Jawa Tengah. Sebagai produsen tekstil terbesar di Indonesia, Sritex memasok berbagai produk mulai dari benang, kain mentah, kain jadi, hingga pakaian siap pakai. Dengan serapan tenaga kerja yang mencapai ribuan, tentu sangat disayangkan jika PT Sritex harus berakhir dengan gulung tikar.
Seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, ”Jika pabrik sebesar Sritex bisa jatuh, berarti ada sesuatu yang harus kita cermati lebih dalam.”
Industri Tekstil dalam Ancaman
Keguncangan dalam industri tekstil rupanya tidak hanya dialami PT Sritex. Asosiasi Produsen Serat dan benang Filament Indonesia (Apsyfi) memaparkan bahwa sebanyak 60 perusahaan tekstil dalam negeri mengalami guncangan bisnis dalam 2 tahun terakhir.
Ketua Umum Apsyfi Redma Gita Wiraswasta memberikan data bahwa sebanyak 34 perusahaan telah menutup usahanya dan menghentikan operasional pabrik, lalu sisanya yakni sebanyak 26 perusahaan lainnya, menempuh jalur pemutusan hubungan kerja (PHK), merumahkan pekerja hingga relokasi.
Lebih jauh, Redma mengatakan bahwa hingga kini, sebanyak 250.000 karyawan telah mengalami PHK akibat industri TPT terseok-seok dalam waktu yang lama.
Melemahnya industri tekstil ini disebabkan oleh lonjakan impor pakaian jadi ke pasar dalam negeri. Kebijakan relaksasi yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor menjadi penyebab pelaku industri tekstil dalam negeri tidak berkutik hadapi banjir impor. Arus impor dari luar negeri menjadi lebih deras, khususnya di tekstil. Contohnya, barang dari China dengan mudah masuk ke dalam negeri dan membanjiri pasar Tanah Air.
Produk TPT (tekstil dan produk tekstil) China masuk dengan harga yang sudah disubsidi pemerintah dan di sini bebas bea masuk serta pajak impor. Ini yang membuat industri lokal mati perlahan. Dampaknya, produk lokal, seperti yang dihasilkan Sritex, semakin sulit bersaing karena harga barang impor yang lebih murah.
Pada saat yang sama, biaya produksi di dalam negeri terus meningkat akibat harga bahan baku yang lebih tinggi, kenaikan upah buruh, serta tarif energi yang memberatkan industri tekstil.
Dibalik Regulasi Merugikan Industri Lokal
Munculnya regulasi yang membuka kran impor lebar-lebar tidak terlepas dari kemitraan yang terjalin antara negara-negara anggota ASEAN dengan Cina melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani pada 12 November 2017. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang, baik tarif ataupun nontarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerja sama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.
Kesepakatan baik regional maupun internasional menjadikan negara tunduk pada kepentingan asing.
Bak gayung bersambut, terbitnya UU Cipta Kerja yang kemudian berganti nama menjadi Perppu Cipta Kerja 2020 makin membuat Indonesia kebanjiran barang-barang impor. Industri tekstil dalam negeri tidak kuasa menahan gempuran barang impor, produksi menurun, penjualan merosot, hingga rentetan pemutusan hubungan kerja terus mewarnai industri ini. Lemahnya perlindungan negara untuk menjaga daya saing produk tekstil dalam negeri menjadi pemicu gulung tikarnya perusahaan tekstil, termasuk Sritex.
Kemudahan dan pelonggaran negara menetapkan regulasi dan kebijakan terkait impor membuat industri tekstil dalam negeri babak belur dihajar produk impor, baik legal maupun ilegal. Inilah akibat penerapan liberalisasi pasar bebas dalam sistem kapitalisme. Liberalisasi ini mengakibatkan negara kehilangan kontrol dalam menyediakan lapangan kerja dan membuat swasta memainkan peran lebih banyak dalam industri.
Liberalisasi ini juga mengakibatkan masuknya investasi asing dan kesepakatan-kesepakatan, baik regional maupun internasional yang membuat posisi Indonesia terikat dengan perdagangan bebas. Alhasil, negara berkembang seperti Indonesia menjadi sasaran empuk pasar global negara maju.
Prinsip pasar bebas yang diterapkan dalam sistem kapitalisme memungkinkan bagi individu dan perusahaan untuk berproduksi, membeli, dan menjual barang dan jasa secara bebas tanpa intervensi pemerintah secara signifikan. Pada akhirnya, sistem ini mendegradasi peran negara hanya sebatas regulator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi.
Sistem kapitalisme yang berdiri atas asas kebebasan kepemilikan melahirkan pasar bebas. Siapa saja yang memiliki modal dapat menguasai industri dan perdagangan. Teori pasar bebas mengharuskan adanya pertukaran perdagangan antarnegara berjalan tanpa batas dan tidak ada keharusan membayar bea cukai atau tarif bea masuk yang dikenakan untuk impor barang. Pandangan ini menginginkan hilangnya kontrol negara sehingga keberadaan negara tidak akan menambah beban, baik dengan mengontrol ekspor maupun impor.
Industri dalam Islam
Dalam Islam, kepemilikan harta terbagi menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Islam tidak serta-merta memberikan kebebasan penuh kepada individu, swasta, apalagi asing untuk mengelola harta milik umum dan negara. Sistem Islam menjamin suasana yang kondusif bagi para pengusaha dan perusahaan dengan penerapan sistem ekonomi Islam.
Penerapan sistem Islam kafah bertujuan untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, harta, agama, nasab, dan keamanan. Oleh karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan tujuan diterapkannya syariat, yaitu merealisasikan kemanfaatan untuk umat manusia (mashâlih al-‘ibâd) baik urusan dunia maupun urusan akhirat mereka.
Politik perindustrian berjalan dengan cara menjadikan negara sebagai negara industri. Untuk mencapai hal itu dibutuhkan satu cara, yaitu mewujudkan industri permesinan terlebih dahulu sebab dari hal tersebut akan terwujud berbagai industri lainnya. Artinya, sebelum melakukan hal lain, negara harus mewujudkan terlebih dahulu industri yang memproduksi permesinan, seperti produksi motor dan lain-lain. Ketika ketersediaan mesin dalam negeri sudah banyak maka mesin-mesin ini bisa digunakan untuk membangun industri lainnya. (Syekh Atha’ Abu al-Rasytah dalam buku Politik Perindustrian dan Membangun Negara Industri dalam Pandangan Islam, hlm.17)
Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar. Sebagai contoh, untuk merealisasikan perlindungan terhadap jiwa, negara membangun industri makanan atau obat-obatan. Dalam rangka mewujudkan pemeliharaan akal dan pemikiran, negara dapat membangun industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi. Selain itu, untuk menjaga suasana kehidupan beragama lebih semarak, negara bisa membangun industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jemaah haji. Untuk menciptakan kehidupan keluarga lebih harmonis, negara dapat membangun industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil, dan sebagainya.
Perindustrian diwujudkan agar mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun nonmuslim. Negara akan memprioritaskan memproduksi kebutuhan dasar rakyat hingga terpenuhi sebelum melakukan ekspor barang ke negara lain. Kebijakan ekspor bisa dilakukan jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi dengan baik.
Dari sisi nonfisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun berdasarkan paradigma kemandirian. Tidak boleh sedikit pun ada peluang yang akan membuat negara tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor impor), maupun politik.
Kebijakan tersebut dilakukan dengan cara memberikan modal atau insentif agar rakyat dapat memulai usahanya. Negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan agar mereka dapat bekerja pada beragam jenis industri dan pekerjaan. Dalam Islam tidak ada istilah orang menganggur.
Selain itu, kebijakan politik luar negeri Khilafah tidak akan menghilangkan peran vital negara sebagai _ra‘in_ (pelayan dan pengurus rakyat). Perdagangan luar negeri sebagai salah satu bentuk hubungan negara dengan negara, bangsa, dan umat-umat lain semuanya harus tunduk kepada kekuasaan negara sehingga negaralah yang harus mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung, baik perdagangan tersebut merupakan hubungan antar-individu, ekonomi, ataupun perdagangan (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam, hlm, 692)
Kebijakan Impor dalam Islam
Khilafah mengizinkan kaum muslim dan kafir zimni untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir. Terhadap kafir mu’ahid, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang impor maupun ekspor. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari Negara Khilafah. Namun, orang kafir yang membuat perjanjian dengan Khilafah (kafir mu’ahid) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannya ke dalam Negara Khilafah.
Terhadap negara kafir harbi fi’lan, Khilafah tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada hanyalah hubungan perang. Kafir harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah Khilafah, kecuali ada izin masuk (visa) dari negara. Jika mereka masuk tanpa visa, mereka diperlakukan sebagaimana halnya kafir harbi fi’lan, yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapatkan perlindungan.
Demikianlah, sistem Khilafah mempunyai penjelasan secara rinci tentang aturan impor. Aturan yang memastikan aman bagi industri-industri lokal untuk berkembang dan maju di negerinya sendiri. Mekanisme ini dapat berjalan tatkala penguasa menjalankan sistem kepemimpinan yang menerapkan Islam kafah.