| 160 Views
Gas Melon Langka, Rakyat Menjadi Korban Akibat Sistem Kapitalisme

Oleh : Ummu Aura
Muslimah Peduli Umat
Kebijakan pelarangan pengecer menjual elpiji 3 kg yang diberlakukan kementerian ESDM pada 1 Februari 2025 lalu membuat gaduh di tengah masyarakat. Menurut pemerintah kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan distribusi elpiji lebih tertata dan tepat sasaran.
Namun efeknya justru membuat kepanikan di tengah masyarakat bahkan membuat mereka mengantri panjang berjam-jam di pangkalan resmi, demi mendapatkan elpiji 3 kg. Kondisi ini nyatanya membawa duka setelah seorang ibu yang memiliki usaha menjual nasi uduk ditemukan meninggal dunia usai antri membeli gas elpiji 3 kg selama 2 jam di bawah terik matahari. Hal ini terjadi di kota Tangerang Selatan, tepatnya di Pamulang Barat.
Memang benar bahwa kebijakan larangan penjualan gas elpiji 3 kg secara eceran ini tidak hanya menyusahkan konsumen tetapi juga mematikan pengusaha kecil bahkan pedagang eceran ikut menjerit akibat tidak lagi bisa berjualan gas melon. Para Pengecer bila ingin menjual gas elpiji 3 kg maka terlebih dahulu harus memiliki ijin sebagai pangkalan. Sementara biaya yang diperlukan untuk menjadi pangkalan cukup besar sesuatu yang sulit dipenuhi oleh pedagang kecil.
Setelah mendapat protes dari masyarakat terkait sulitnya mendapat gas elpiji 3 kg , DPR dan pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengaktifkan kembali pengecer elpiji 3 kg per Selasa 4 Februari 2025.
Meski demikian kelangkaan gas masih terus berlangsung.
Perubahan sistem distribusi elpiji yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan tugas melon adalah keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Kebijakan ini bukan hanya terkait pergantian menteri dan pejabat tetapi sebuah konsekuensi atas sistem ekonomi kapitalisme yang dipilih negeri ini sebagai landasan berekonomi.
Pasalnya salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi migas yang memberi jalan bagi korporasi mengelola sumber daya alam berlimpah yang sejatinya milik rakyat.
Meski negeri ini memiliki kekayaan minyak dan gas bumi yang luar biasa besar, namun akibat tata kelola kapitalisme rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah bahkan gratis. Sebab negara harus melegalkan pengelolaannya dari aspek produksi hingga distribusi dengan orientasi bisnis. Oleh karena itu perubahan kebijakan apapun yang ditempuh pemerintah pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap migas yang hakikatnya merupakan harta milik rakyat.
Mirisnya pada saat yang sama kepemimpinan sekuler yang diadopsi negeri ini telah menjadikan negara lepas tanggung jawab dalam menjamin pemenuhan kebutuhan asasi rakyatnya. Kepemimpinan ini juga telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat atau raa'in. Sebaliknya penguasa hanya bertindak sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu atau pemilik modal meski rakyat harus dikorbankan.
Berbeda dengan pengelolaan media sebagai sumber energi di bawah penerapan sistem Islam yaitu Khilafah islamiyah. Islam menetapkan 3 termasuk dalam kepemilikan umum atau harta milik rakyat sebab demikianlah faktanya.
Dalam HR. Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah Saw bersabda "Kaum muslim berserikat dalam 3 perkara yaitu padang rumput, air dan api". Berserikat di sini bermakna perserikatan dalam pemanfaatan artinya semua rakyat boleh memanfaatkannya dan pada saat yang sama harta-harta yang termasuk ketiganya tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja seperti korporasi, sementara sebagian yang lain dihalangi atau dilarang.
Artinya dalam hadis tersebut ada izin dari asy syar'i Allah SWT kepada semua orang secara berserikat untuk memanfaatkan jenis harta itu. Minyak dan gas bumi merupakan jenis harta yang masuk kategori api sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh semua orang. Karena itu, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini kepada perorangan atau perusahaan sebagaimana dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Islam juga telah mewajibkan negara sebagai wakil umat untuk mengelola sumber daya migas tersebut di mana hasilnya harus dikembalikan atau didistribusikan untuk kepentingan rakyat. Terlebih negara dalam Islam diposisikan sebagai raa'in atau pengurus rakyat. Siapapun penguasa atau khalifah yang menjabat maka hukum Islam inilah yang diterapkan bukan yang lain. sehingga kebijakan-kebijakan ekonominya justru memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya termasuk migas.
Dalam hal pendistribusian khalifah berhak membagikan minyak dan gas bumi kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka secara gratis. Boleh juga khalifah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya atau dengan harga pasar. Negara tidak melarang pengecer yang ikut untuk mendistribusikan migas ini ke masyarakat justru negara sangat terbantu untuk menjamin pendistribusiannya hingga ke wilayah pelosok. Sungguh hanya pengelolaan migas dalam Khilafah yang mampu memudahkan seluruh rakyat dalam mengaksesnya.
Wallahu'alam bishshawwab