| 58 Views

Akibat Buta Sejarah dan Tak paham Islam Yang Benar

Oleh : Umi Silvi

Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025 Menteri Agama Nasaruddin Umar mengimbau seluruh masyarakat untuk saling menjaga keharmonisan antarumat beragama, serta memelihara hubungan baik sebagai warga negara yang hidup dalam keberagaman. Beliau juga mengingatkan bahwa menjaga toleransi merupakan bagian penting dari identitas bangsa Indonesia dan mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Nataru ini sebagai waktu yang tepat untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan. Senada dengan Menteri Agama, Pemerintah Kota Surabaya pun saat ini tengah mempersiapkan perayaan Nataru 2024/2025 dengan fokus utama pengamanan pada tempat ibadah dan menjaga kerukunan umat beragama. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menegaskan pentingnya semua pihak untuk bekerja sama demi memastikan keamanan dan kenyamanan warga, terutama umat Kristiani yang akan merayakan Natal. 

WaliKota Surabaya Eri Cahyadi mengajak warga surabaya perkuat toleransi beragama, terutama penjagaan ketat pada gereja-gereja menjelang nataru demi menjaga kerukunan umat beragama. Selebihnya lagi pemkot Surabaya menggandeng berbagai ormas dan kepolisian untuk menjaga kondusifnya selama Nataru. Seruan tentang toleransi beragama lagi lagi di gembar gemborkan Menteri Agama, kepala daerah, dan pejabat lainnya.ini jelas tak lain tak bukan gagalnya pemahaman para penguasa terhadap urusan umat terutama bagaimana cara negara menjaga aqidah,bahkan yang di jadikan landasanya adalah HAM, makin jaulah dari pehaman yang benar dan lurus.Kata “toleransi” memang kerap kali dilontarkan menjelang perayaan Natal dan tahun baru, khususnya kepada umat Islam. Perayaan Nataru ini seolah dijadikan tolak ukur sejauh mana umat Islam bersikap toleransi. Toleransi juga sering kali menjadi “senjata andalan” moderasi beragama untuk menyebarkan pemahaman dengan tujuan supaya ide mereka mudah diterima oleh masyarakat, khususnya umat Islam. Padahal, faktanya toleransi yang dimaksud tidak sesuai dan justru bertentangan dengan agama Islam. 

Upaya pengaburan ajaran Islam tentang hal ini makin tampak nyata. Setiap akhir tahun, umat berselisih tentang bagaimana menyikapi perayaan Nataru. Mulai dari ucapan selamat Natal, ikut ikutan memakai atribut, hingga menghadiri perayaan atau ritual perayaannya. Hal ini berulang setiap tahun dan makin gencar disuarakan atas nama toleransi, terlebih dengan propaganda moderasi beragama yang semakin masif digaungkan. Saat ini umat Islam dihadapkan pada seruan toleransi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap kita terhadap perayaan Natal menjadi indikator toleransi yang sesungguhnya. Toleransi yang diserukan saat ini mengandung risiko pencampuran ajaran Islam dengan ide-ide non-Islam yang jelas merusak akidah. Hal serupa terjadi saat pergantian tahun, yaitu ketika masyarakat muslim mengadakan pesta yang sarat dengan aktivitas maksiat. 

Negara seharusnya berperan sebagai penjaga akidah۔ Namun kenyataannya, umat harus bertindak sendiri untuk menjaga keyakinan dan generasi mereka. Menghadapi kerusakan moral yang parah, kaum muslimin harus aktif melakukan penyadaran. Setiap muslim wajib memegang teguh Islam, serta menjaga identitas Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama peribadatan. Karena itu, mengikuti perayaan dan mengucapkan selamat Natal merupakan tindakan yang menciderai identitas Islam dan diharamkan. Padahal, Rasulullah SAW telah memperingatkan pada kita untuk tidak mengikuti tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang nonmuslim. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan, andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasranikah mereka?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari) 

Sebagai muslim, kita sama-sama memahami bahwa hanya agama Islam yang diridai oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 19, yang artinya:

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.”
Oleh karena itu, mengikuti perayaan agama selain Islam jelas bertentangan dengan Islam, walaupun dengan dalih toleransi. Allah SWT jelas melarang untuk tidak ikut merayakannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 85, yang artinya:

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”Islam sebagai agama dengan seperangkat aturan yang jelas dan sempurna menghargai masyarakat plural yang memiliki keberagaman suku, agama, serta bahasa. Hal ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sejak berdirinya pemerintahan Islam di Madinah.

Islam mempersaudarakan banyak suku (kabilah-kabilah) dan bangsa, contohnya suku Aus dan Khazraj. Demikian pula dengan Makkah dan Madinah yang memiliki karakteristik berbeda dalam hal budaya, adat istiadat, serta kebiasan-kebiasaan yang dapat dipadukan dengan Islam, sehingga terbentuk sebuah masyarakat baru dengan landasan perasaan, pemikiran, dan peraturan yang sama, yaitu masyarakat Islam.

Dalam interaksi dengan nonmuslim, Rasulullah SAW pernah menjenguk seorang Yahudi yang sakit. Beliau melakukan transaksi jual-beli, juga menghargai tetangga nonmuslim.

Islam telah mengajarkan dan menerapkan makna toleransi dengan begitu indah sejak masa Rasulullah SAW. Islam sudah mempraktikkannya dengan baik sejak 15 abad yang lalu. Islam tidak pernah memaksa nonmuslim untuk masuk Islam. Justru mereka berbondong-bondong masuk Islam karena sudah merasakan kesejahteraan hidup di bawah naungan Islam.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Kafirun, yang artinya:

“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Itulah makna toleransi yang sesungguhnya dalam Islam. Tidak pernah ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Agama selain Islam boleh melaksanakan ibadah sesuai dengan akidah masing masing. Namun, kita sebagai muslim tetap dituntut untuk mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia supaya seluruh manusia yang ada di muka bumi ini dapat tercerahkan oleh pancaran cahaya Islam, yakni satu-satunya agama yang diridai oleh Allah SWT.

Maka, sudah sangat jelas bahwa ikut merayakan Natal dalam segala bentuk apa pun jelas tidak dibenarkan dengan alasan apa pun. Hal ini merupakan racun yang sengaja diembuskan oleh musuh-musuh Islam supaya umat semakin jauh dari pemahaman Islam yang lurus. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita berhati-hati dan waspada terhadap berbagai pihak yang ingin mengaburkan kita dari pemahaman Islam yang benar. 

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.


Share this article via

100 Shares

0 Comment