| 159 Views
Kisah Tidak Menarik di Bursa Transfer: Klub-Klub Eropa Pilih Jeda, Mengapa?
CendekiaPos - Pecinta sepak bola dan pasar transfer kini dibuat kecewa dengan sepi aksi di bursa transfer bulan ini, di mana klub-klub Eropa tampaknya lebih bersikap tenang dan hati-hati dalam melakukan transaksi pemain.
Sejak awal Januari, belum ada perjanjian transfer yang memicu kejutan di seluruh Eropa. Bahkan di Liga Primer yang biasanya dikenal sebagai panggung pembelanjaan besar, kegiatan transfer tampak lesu. Hal yang menarik, Tottenham, yang pernah dikritik karena ketat dalam pengeluaran, justru menjadi yang paling aktif saat ini. Meskipun begitu, mereka masih mempertahankan kewaspadaan, mengontrak Timo Werner dengan status pinjaman dan membayar £21,5 juta ($27,4 juta) plus £5,2 juta ($6,6 juta) untuk jasa Radu Dragusin.
Klub ini juga dikaitkan dengan kepindahan Conor Gallagher dari Chelsea, namun tampaknya mereka enggan merealisasikannya karena pertimbangan ekonomi, sejalan dengan tren penekanan finansial yang dilakukan oleh klub-klub di seluruh dunia pada bulan Januari ini.
Tentu saja, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa klub-klub yang biasanya boros menjadi begitu hati-hati? Tahun lalu, Chelsea menghabiskan £89 juta ($113 juta) untuk membeli Mykhailo Mudryk, Liverpool merekrut Cody Gakpo, dan klub-klub lain yang tengah berjuang seperti Bournemouth dan Leeds juga sangat aktif di pasar transfer.
Dampak Klub Liga Primer pada Klub Eropa Lainnya Situasi sepi ini sebagian besar merupakan hasil dari pemborosan besar-besaran pada transfer sebelumnya. Liga Primer, dengan pendapatannya yang unggul dari penyiaran dan komersial, sering menjadi pelopor dalam kegiatan transfer besar.
Selama dua musim panas terakhir, rekor pengeluaran transfer musim panas dipegang oleh klub-klub Liga Primer. Pada tahun 2022, klub-klub ini mengeluarkan total £2 miliar ($2,5 miliar), dan musim panas lalu, angka ini meningkat menjadi £2,4 miliar ($3 miliar).
Meskipun pendapatan yang meningkat dapat menyeimbangkan situasi ini, namun dalam era pasca-pandemi, Liga Primer, secara kasarnya, tampaknya mulai kehabisan uang. Klub-klub di negara-negara Eropa lainnya, yang hanya bisa bermimpi untuk menyamai gaji dan biaya transfer yang diminta di Inggris, saat ini kesulitan untuk mengumpulkan dana yang diperlukan untuk melakukan pembelian yang mereka inginkan.
Khawatir akan Konsekuensi Seperti Everton Sebelumnya, klub-klub Liga Primer mungkin mengeluarkan uang melebihi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu, seperti berpartisipasi di Liga Champions atau menghindari degradasi. Namun, perubahan terjadi ketika pemerintah Inggris mengancam dengan pembentukan regulator sepak bola independen. Liga Primer pun semakin ketat dalam mengatur aspek keuangan.
Everton menjadi contoh nyata dampak dari pengeluaran besar-besaran ketika mereka diberikan hukuman pengurangan sepuluh poin pada bulan November karena melanggar aturan keuntungan dan keberlanjutan. Everton juga bukan satu-satunya klub yang khawatir dengan akibat dari pemborosan ini. Nottingham Forest juga menanti hukuman serupa, dan 115 tuduhan saat ini menghantui Manchester City, meskipun keputusan akhir diperkirakan masih jauh.
Seluruh klub Liga Primer kini berada dalam kewaspadaan, dengan CEO Newcastle, Darren Eales, mengatakan bahwa "penilaian atas Everton menunjukkan bahwa ada pengetatan dalam aturan keuangan. Saya rasa ini menjadi pemikiran umum di Liga Primer bahwa ini adalah sesuatu yang nyata."
Aturan keuntungan dan keberlanjutan membatasi klub untuk tidak mengalami kerugian lebih dari £105 juta ($133,8 juta) selama tiga tahun. Dengan Chelsea mencatatkan pembelanjaan bersih hampir £700 juta ($892 juta) selama lima tahun terakhir, tak heran jika klub-klub Liga Primer sangat berhati-hati dalam mengendalikan pengeluaran mereka.
Tidak hanya Liga Primer, masalah serupa terjadi di seluruh Eropa, dengan klub seperti Barcelona yang tampaknya kesulitan mengatasi masalah ekonomi mereka, dan Inter Milan yang memiliki utang sekitar £700 juta ($900 juta).