| 61 Views
Hilangnya fitrah Ibu Buah Sistem Sekuler

Oleh : Ummu Silvi
Aktivis Muslimah Ngaji
Ibu memiliki peran yang signifikan dalam keluarga, sebab sifat penyayang dan lembut ada pada perempuan. Karena itu, seorang ibu memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan karakter anaknya. Seorang ibu akan melakukan apa saja untuk keluarganya. Termasuk dalam memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Namun bagaimana jika ternyata fitrah seorang ibu yang penyayang justru minim akibat tingginya beban hidup. Seorang ibu yang tega membunuh anaknya karena faktor ekonomi. Tingginya beban hidup justru telah mematikan fitrah keibuannya.
Miris, itulah kata yang bisa kita ucapkan ketika kita mendengar berita pembunuhan apalagi kasus pembunuhan kali ini dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Di Desa Membalong Kabupaten Belitung , seorang ibu bernama Rohwana (38) tega membunuh bayinya sendiri dengan cara menenggelamkan ke ember berisi air sesaat setelah dilahirkan. Dan setelah bayi tidak bernyawa, sang ibu membuangnya ke semak semak di kebun milik warga setempat.
Sang ibu mengakui tega membunuh bayinya karena tidak memiliki biaya untuk membesarkannya. Pasalnya, sang ibu telah memiliki 2 anak dan suaminya hanya bekerja sebagai buruh. Berawal dari penemuan warga sekitar atas bayi laki-laki pada Jumat sore (19/1), kemudian dilanjutkan proses penyidikan. Dari hasil penyidikan tersebut diketahui bahwa perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh ini mengakui bahwa tindakan tragis yang dilakukannya diduga karena impitan ekonomi.
Alasan tidak cukup biaya untuk membesarkan anak ketiga yang baru saja lahir tersebut disertai dua anak lainnya yang sudah besar dan suami yang bekerja sebagai buruh, sehingga Rohwana tega membunuh putranya.
Akibat perbuatannya, Rowana dijerat Pasal 338 KUHP atau pasal 305 KUHP Jo Pasal 306 Ayat 2 KUHP atau Pasal 308 KUHP.
Kasus Filiside, kasus orang tua yang membunuh anaknya ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Banyak kasus sama yang terjadi di daerah berbeda. Banyak hal yang menyebabkan hal ini terjadi, namun yang paling muncul di permukaan adalah faktor himpitan ekonomi yang telah mengimpit masyarakat.
Kasus yang di atas bisa terjadi karena adanya beberapa faktor, yang pertama adalah lemahnya iman yang telah membuat ibu gelap mata dan tidak bisa berpikir jernih. Ibu tidak menyadari bahwa anak adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT yang harus dijaga karena kelak orang tuanya akan dimintai pertanggungjawaban masalah pengasuhan dan pendidikan sang anak.
Selain faktor keimanan adanya faktor ketahanan keluarga juga amat sangat penting, keluarga sepatutnya menjadi lingkaran yang mendukung perempuan untuk menjalankan fungsi utamanya yakni menjadi ibu.
Tetapi di saat ini sistem Kapitalisme justru memaksa sang ibu untuk ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Dan masyarakat yang hidup di sistem kapitalisme pun akhirnya bersikap individualis hanya memikirkan nasib diri sendiri tidak peduli pada orang lain. Di tambah lagi negara yang abai, harusnya negara menjadi garda terdepan untuk menjadi pelindung kaum ibu dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tetapi faktanya penguasa justru mengabdi pada kepentingan para kapitalis oligarki.
Sistem kapitalisme secara tidak langsung sistem yang diterapkan sekarang mematikan fitrah ibu, yang seharusnya ibu itu menginginkan anak dan memiliki sifat penyayang. Tidak hanya itu, tugas ibu juga mengasuh, membesarkan serta mendidik, karena anak adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Namun fitrah keibuan kian terkikis oleh sistem kapitalisme, banyak dari ibu enggan punya anak karena khawatir dengan penghasilan keluarganya tak mencukupi kebutuhan anak karena mahalnya kebutuhan pokok dan biaya pendidikan.
Banyak ayah yang kehilangan pekerjaannya, hasil kerja serabutan tak mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga sistem ini memaksa para ibu untuk kerja di luar rumah membantu perekonomian keluarga. Akhirnya anak bukan lagi menjadi takdir tapi pilihan, anak menjadi korban hidup atau mati. Na'udzubillahi mindzalik!
Kebijakan yang diambil lebih sering menguntungkan para pemilik modal daripada rakyat kecil. Para pemimpin terlalu fokus pada persaingan politik untuk mempertahankan atau memperkuat posisi mereka sendiri atau keluarga mereka di pemerintahan, sementara penderitaan rakyat diabaikan tanpa upaya mencari solusi yang nyata dan berkelanjutan. Hal ini meningkatkan risiko terulangnya insiden tragis seperti ibu yang menghilangkan nyawa anaknya sendiri, dengan jumlah kasus yang dapat bertambah.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa negara sering kali gagal menjalankan perannya sebagai pelindung. Dalam kerangka demokrasi kapitalis, negara tidak berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan cenderung melayani kepentingan kelompok oligarki kapitalis.
Pada dasarnya, negara bertanggung jawab sebagai penjaga utama bagi para ibu, dan mampu menumbuhkan keyakinan yang teguh dalam diri mereka agar tidak mudah putus asa ketika dihadapkan pada berbagai cobaan dan tidak hilang harapan kepada Allah Ta’ala.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, dalam sistem Islam merawat dan menjaga fitrah keibuan. Jika fitrah ini terwujud dengan optimal pada Perempuan, maka generasi akan terdidik dengan benar. Fitrah keibuan merupakan perwujudan dari gharizah nau’ (naluri berkasih sayang) yang ada dalam diri setiap manusia. Jaminan kehidupan berkaitan erat dengan kesejahteraan yang tidak mungkin diwujudkan per individu namun membutuhkan peran negara.
Maka Islam mengatur agar negara menjadi support system bagi para ibu dan anak agar mereka mendapatkan jaminan kesejahteraan. Tentu hal ini tidak dapat kita biarkan terus terjadi. Karena itu, dibutuhkan perubahan signifikan dalam struktur sosial dan pemerintahan untuk menjamin adanya perlindungan yang layak bagi para ibu.
Islam mewajibkan negara menjamin kesejahteraan ibu dan anak melalui berbagai mekanisme, baik itu dari jalur nafkah, dukungan masyarakat dan santunan negara. Dalam jalur nafkah, syariah menetapkan bahwa menjadi tanggung jawab laki-laki untuk mencari nafkah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah/2: 233 sebagai berikut;
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf… “(Q.S. Al-Baqarah/2: 233).
Nafkah berkaitan erat dengan pekerjaan, dan itu tidaklah cukup hanya pada individu semata namun harus ada juga lapangan pekerjaan, maka Islam mewajibkan negara menjadi penanggung jawab tersedianya lapangan pekerjaan dan memadai. Tidak ada seorang laki-laki pun yang tidak bekerja. Selain itu, Islam juga memerintahkan kehidupan masyarakat dilandasi dengan ikatan akidah dengan begitu tolong menolong (ta’awun) antar masyarakat menjadi dukungan tersendiri bagi seorang ibu untuk mengasuh anak-anak mereka.
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan Sebagian mereka (laki-laki) atas Sebagian yang lain (Perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka Perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri Ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)…” (QS. An-Nisa/4: 34).
Jika pun seorang ibu mendapatkan qodho suami meninggal atau kehilangan kemampuan mencari nafkah, Islam juga punya mekanisme agar mereka tetap mendapatkan jaminan kesejahteraan. Jalur penafkahan akan beralih ke saudaranya, jika tidak memiliki saudara maka tanggung jawab itu akan beralih kepada negara. Alokasi jaminan tersebut akan diambil dari Baitul maal, tidak hanya itu, Islam juga mewajibkan negara menjamin harga pangan terjangkau oleh masyarakat. Dengan begitu maka para ibu dapat menyiapkan kebutuhan gizi anak dan keluarga dengan baik.
Islam juga mengatur kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain juga dijamin oleh negara secara mutlak. Rakyat mendapatkannya secara gratis dan berkualitas karena kebutuhan publik tersebut dibiayai oleh Baitul maal. Dengan demikian kesejahteraan akan dirasakan oleh setiap orang termasuk para ibu dapat mengasuh anaknya dengan optimal tanpa rasa khawatir terhadap masalah ekonomi, sehingga dapat menjaga fitrah seorang ibu. Allahu A’lam Bisshawab.