| 22 Views
Listrik Belum Merata Kemaslahatan Rakyat di Abaikan
Oleh : Inang
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Buton
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, mengatakan sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. Jumlah ini turun dari akhir 2023 yang masih sebanyak 140 desa/kelurahan yang semuanya terletak di Papua belum mendapat aliran listrik. “Sampai dengan Triwulan I 2024, Ditjen Ketenagalistrikan telah menetapkan daerah belum berlistrik sebanyak 0,13 persen, 112 desa/kelurahan,” katanya, saat dihubungi Tirto, Senin (10/6/2024).
Sebaliknya, dari total 83.763 desa/kelurahan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6177 tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, rasio desa berlistrik sudah sebesar 99,87 persen. Rinciannya, 77.342 desa/kelurahan atau sekitar 92,33 persen mendapat aliran listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Kemudian, sebanyak 4,27 persen atau 3.573 desa mendapat aliran listrik dari perusahaan penyedia listrik selain PLN. Selanjutnya, 3,27 persen atau 2.736 desa/kelurahan mendapat aliran listrik dari Program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) Kementerian ESDM.
“Pemerintah untuk mengakselerasi pemerataan aliran listrik di Indonesia terus berupaya untuk dapat menyediakan akses listrik bagi seluruh masyarakat di Indonesia, khususnya rumah tangga belum berlistrik yang bermukim di daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal),” tegas Jisman.
Upaya untuk mencapai target rasio elektrifikasi 100 persen di akhir tahun ini antara lain, dengan perluasan jaringan (grid extension) untuk melistriki desa-desa yang dekat dengan jaringan distribusi eksisting. Selanjutnya melalui pembangunan minigrid untuk melistriki desa-desa yang sulit dijangkau perluasan jaringan listrik PLN dan masyarakatnya bermukim secara berkelompok (komunal).
Pada tahun 2024, program BPBL ditargetkan dapat menyasar 122.000 rumah tangga yang tersebar di 36 provinsi.
Sementara itu, untuk peningkatan akses listrik perdesaan (lisdes), Jisman bersama PLN telah menyusun peta jalan (roadmap) listrik perdesaan untuk tahun 2023 – 2026. Dengan program antara lain untuk melistriki desa/kelurahan yang belum berlistrik; pengalihan desa/kelurahan yang berlistrik LTSHE, yang secara teknis telah melampaui masa pakai atau sudah mencapai tiga tahun menjadi berlistrik PLN; dan pengalihan desa/kelurahan berlistrik non-PLN yang ditengarai tidak andal menjadi pelanggan PLN. “Terakhir, perluasan jaringan untuk melistriki dusun-dusun yang belum berlistrik,” pungkas Jisman.
Fakta adanya wilayah yang belum mendapat layanan listrik sangat patut dipertanyakan. Pada zaman serba digital hari ini, negeri ini masih saja bergumul dengan persoalan klasik, yakni pemerataan fasillitas dan layanan publik wilayah pelosok atau terpencil. Ini karena hajat hidup publik seperti energi listrik diliberalisasi sedemikian rupa menjadi layanan berbayar alias tidak gratis.
Liberalisasi ditandai dengan dominasi swasta dalam mengelola hajat hidup masyarakat. Liberalisasi bidang energi listrik sudah dimulai sejak tahun 2000-an. Pada tahun 1990-an, telah banyak berdiri independent power producer (IPP) melalui perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA). IPP tersebut mengelola pembangkit listrik dengan menjual sebagian atau seluruh produksi listriknya ke PLN. Pada akhirnya, skema kerja sama ini memaksa PLN selaku BUMN membeli listrik kepada IPP sebagai perusahaan pembangkit listrik swasta dengan harga berlipat.
Peran IPP untuk mendukung ketersediaan listrik kian meningkat. Nilai tenaga listrik yang dibeli PLN dari IPP makin meningkat tiap tahunnya. Pada 2016 nilai tenaga listrik yang dibeli PLN sebanyak Rp60 triliun hingga pada 2021 mencapai Rp104 triliun. Negara merasa terbantu dengan kehadiran IPP karena membangun sebuah pembangkit listrik memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu pembangunan yang lama sehingga menggandeng pihak luar menjadi dalih pembenar.
Kebijakan ini makin dilegitimasi dengan terbitnya UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan yang menyebut bahwa penyediaan listrik dilakukan oleh negara, tetapi badan swasta atau asing tetap bisa berperan sebagai pihak penyedia energi listrik. Dengan UU ini, pemerintah menggandeng swasta sebagai pembangkit listrik dengan alasan percepatan pemerataan listrik di seluruh wilayah Indonesia.
Pengelolaan Listrik dalam Pandangan Islam
Listrik merupakan sumber daya energi milik umum yang wajib dikelola oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad). Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Di sisi lain, sumber pembangkit listrik semisal batu bara merupakan barang tambang yang terkategori harta milik umum. Dengan status ini, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, apalagi asing. Ini karena batu bara termasuk barang tambang yang jumlahnya sangat banyak dan dibutuhkan masyarakat luas. Pihak yang diberikan mandat dalam mengelola bahan baku energi listrik, memproduksi, hingga mendistribusikannya sebagai energi listrik adalah negara.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik, negara Khilafah akan menempuh beberapa kebijakan: (1) membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai; (2) melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri; (3) mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah; (4) mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan.
Dengan pengelolaan sumber energi listrik secara holistik berdasarkan syariat Islam, negara dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan amanah. Rakyat pun akan terpenuhi kebutuhan listriknya untuk keperluan sehari-hari. Akses dan layanannya pun dapat dijangkau di seluruh wilayah negeri dengan biaya yang relatif murah, terjangkau, bahkan bisa gratis mengingat potensi keberlimpahan SDA tambang di negeri-negeri muslim sangat besar nilainya.